Kasus-kasus seperti ini justru membantah sendiri komitmen Polri menerima kritik. Pihak-pihak yang semestinya diberikan penghargaan atas kritiknya, serta menjadi sahabat Kapolri, justru menjadi pesakitan melalui dugaan intimidasi dan represi.
Baca juga: Mega Korupsi, Kontradiksi, dan Zemiologi Masyarakat
Institusi Kepolisian, terutama Kapolri dan jajarannya, sepertinya perlu diingatkan komitmen yang mereka sampaikan tahun 2021 lalu, ketika mengadakan lomba Bhayangkara Mural Festival.
Dalam lomba tersebut, kritikan kepada Polri disampaikan melalui mural. Bahkan Kapolri menyampaikan bahwa muralis yang paling pedas dalam mengkritik bakal jadi sahabatnya.
Dalam konteks ini, jika Kapolri dan jajarannya konsisten, semestinya perlakuan yang sama juga ditujukan kepada band Sukatani.
Band Sukatani dan muralis ketika itu sama-sama menyampaikan kritik melalui seni, yakni lagu dan mural.
Persoalan ini juga membuka tabir realitas bahwa belum tentu jajaran Polri di level daerah dapat mengikuti komitmen Polri di pusat.
Jika dibiarkan, komitmen Kapolri untuk memastikan institusi Polri terlibat dalam pemajuan demokrasi di Indonesia dapat bertepuk sebelah tangan.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi menjadi jantung demokrasi. Hambatan dan tantangan visi demokratis ini justru datang dari internal, berupa oknum-oknum aparat yang tidak siap dengan iklim demokrasi, serta pimpinan yang tidak tegas atas perilaku anggotanya.
Fenomena ini juga menegaskan temuan survei ahli SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024), bahwa 51,2 persen ahli, atau mayoritas ahli, menyatakan pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis berjalan buruk.
Baca juga: Tarik Ulur Pengangkatan CASN: Cermin Buruknya Tata Kelola Pemerintahan
Salah satu musababnya adalah minimnya pemahaman dan/atau perspektif anggota Polri mengenai perlindungan HAM di lapangan.
Dalam konteks persoalan band Sukatani, aparat di lapangan semestinya paham itu bagian dari kebebasan berekspresi yang telah dijamin Konstitusi.
Hal tersebut juga sejalan dengan mayoritas pendapat ahli dalam studi tersebut, bahwa 80,1 persen ahli menyatakan aspek-aspek yang harus diprioritaskan dalam pemolisian demokratis dan humanis adalah menunjung tinggi HAM.
Selain itu, jika tidak ada evaluasi dan pemeriksaan terkait dugaan pembungkaman atas persoalan ini, pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia dapat semakin buruk.
Dalam studi SETARA tersebut, mayoritas ahli atau 49,7 persen menyatakan bahwa pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia ada di status buruk. Hanya 19,8 persen yang mengatakan Polri memberi pengaruh baik.
Perlu digarisbawahi bahwa studi SETARA Institute tersebut dilakukan kepada 167 ahli yang memiliki kualifikasi sangat memadai terhadap isu-isu terkait kinerja Kepolisian.