Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Kemiskinan Struktural Sejak Kandungan: Mendesak Reformasi Sosial-Ekonomi

Kompas.com - 08/09/2025, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Banyak rakyat terjebak dalam jeratan struktural yang membuat mereka mustahil keluar dari kemiskinan, karena mereka dibelenggu oleh sistem yang tidak memberi mereka ruang untuk tumbuh. Keadilan sosial hanya menjadi retorika.

Pada momentum peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional beberapa bulan lalu, kita patut merenung: apakah kita pantas mengucapkan ‘selamat’? Ataukah justru harus menyatakan ‘selamatkan’?

Selamatkan buruh dari sistem kerja yang menindas. Selamatkan dunia pendidikan dari komersialisasi. Selamatkan generasi muda dari jerat kemiskinan struktural.

Pecahkan rantai ketimpangan

Kita perlu melampaui paradigma lama yang hanya mengejar angka statistik pertumbuhan ekonomi tanpa menyentuh substansi persoalan sosial.

Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan persentase kemiskinan secara angka, atau meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memang penting.

Namun, tidak pernah cukup bila di balik semua itu masih tersembunyi ketidakadilan struktural yang membelenggu rakyat kecil.

Inilah saatnya kita beralih menuju transformasi sosial-ekonomi yang sungguh-sungguh bermakna, yang tidak sekadar menampilkan wajah kemajuan di atas kertas, melainkan menghadirkan kesejahteraan yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Reformasi kebijakan sosial harus ditempatkan di jantung agenda pembangunan nasional. Artinya, setiap kebijakan publik tidak boleh lagi berpihak pada segelintir elite politik dan ekonomi, tetapi benar-benar mengutamakan kebutuhan rakyat kebanyakan.

Itu mencakup keberanian menata ulang distribusi sumber daya nasional agar lebih merata, menghapus praktik rangkap jabatan yang melemahkan akuntabilitas, hingga memperkuat sistem jaminan sosial yang tidak diskriminatif.

Baca juga: Jangan Lagi Stecu: Final, MK Larang Wamen Rangkap Jabatan

 

Pendidikan harus dihadirkan sebagai pintu keluar dari lingkaran kemiskinan, bukan sekadar formalitas administratif yang sulit dijangkau oleh anak-anak di pelosok.

Kesehatan pun harus dilihat bukan hanya sebagai layanan medis, melainkan investasi jangka panjang yang menentukan kualitas generasi mendatang.

Kemiskinan struktural tidak bisa lagi ditangani dengan pola pikir karitatif yang musiman—seperti bantuan sosial yang hadir hanya saat menjelang pemilu atau ketika krisis menekan.

Penyelesaiannya harus berakar pada reformasi sistem yang timpang: dari redistribusi tanah dan akses ekonomi produktif, hingga penciptaan lapangan kerja yang bermartabat dan bukan sekadar padat karya upah rendah.

Selama negara masih sibuk memelihara narasi semu dan selebrasi basa-basi, maka wajah kemiskinan akan tetap diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Bangsa ini harus berani jujur pada dirinya sendiri: apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun benar-benar milik seluruh rakyat, atau hanya menjadi milik segelintir orang yang menikmati privilese kekuasaan dan kekayaan?

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau