Banyak rakyat terjebak dalam jeratan struktural yang membuat mereka mustahil keluar dari kemiskinan, karena mereka dibelenggu oleh sistem yang tidak memberi mereka ruang untuk tumbuh. Keadilan sosial hanya menjadi retorika.
Pada momentum peringatan Hari Buruh dan Hari Pendidikan Nasional beberapa bulan lalu, kita patut merenung: apakah kita pantas mengucapkan ‘selamat’? Ataukah justru harus menyatakan ‘selamatkan’?
Selamatkan buruh dari sistem kerja yang menindas. Selamatkan dunia pendidikan dari komersialisasi. Selamatkan generasi muda dari jerat kemiskinan struktural.
Kita perlu melampaui paradigma lama yang hanya mengejar angka statistik pertumbuhan ekonomi tanpa menyentuh substansi persoalan sosial.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan persentase kemiskinan secara angka, atau meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memang penting.
Namun, tidak pernah cukup bila di balik semua itu masih tersembunyi ketidakadilan struktural yang membelenggu rakyat kecil.
Inilah saatnya kita beralih menuju transformasi sosial-ekonomi yang sungguh-sungguh bermakna, yang tidak sekadar menampilkan wajah kemajuan di atas kertas, melainkan menghadirkan kesejahteraan yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Reformasi kebijakan sosial harus ditempatkan di jantung agenda pembangunan nasional. Artinya, setiap kebijakan publik tidak boleh lagi berpihak pada segelintir elite politik dan ekonomi, tetapi benar-benar mengutamakan kebutuhan rakyat kebanyakan.
Itu mencakup keberanian menata ulang distribusi sumber daya nasional agar lebih merata, menghapus praktik rangkap jabatan yang melemahkan akuntabilitas, hingga memperkuat sistem jaminan sosial yang tidak diskriminatif.
Baca juga: Jangan Lagi Stecu: Final, MK Larang Wamen Rangkap Jabatan
Pendidikan harus dihadirkan sebagai pintu keluar dari lingkaran kemiskinan, bukan sekadar formalitas administratif yang sulit dijangkau oleh anak-anak di pelosok.
Kesehatan pun harus dilihat bukan hanya sebagai layanan medis, melainkan investasi jangka panjang yang menentukan kualitas generasi mendatang.
Kemiskinan struktural tidak bisa lagi ditangani dengan pola pikir karitatif yang musiman—seperti bantuan sosial yang hadir hanya saat menjelang pemilu atau ketika krisis menekan.
Penyelesaiannya harus berakar pada reformasi sistem yang timpang: dari redistribusi tanah dan akses ekonomi produktif, hingga penciptaan lapangan kerja yang bermartabat dan bukan sekadar padat karya upah rendah.
Selama negara masih sibuk memelihara narasi semu dan selebrasi basa-basi, maka wajah kemiskinan akan tetap diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Bangsa ini harus berani jujur pada dirinya sendiri: apakah kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun benar-benar milik seluruh rakyat, atau hanya menjadi milik segelintir orang yang menikmati privilese kekuasaan dan kekayaan?