Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nicholas Martua Siagian
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Kemiskinan Struktural Sejak Kandungan: Mendesak Reformasi Sosial-Ekonomi

Kompas.com - 08/09/2025, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Terlebih, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang menjadi dasar BPS dilakukan dua kali dalam setahun dan sangat bergantung pada pelaporan konsumsi yang sering kali tidak mencerminkan kondisi ‘laten’ rumah tangga.

Jika dulu kita mengenal istilah kemiskinan absolut atau relatif, kini kemiskinan di Indonesia telah menjelma menjadi kemiskinan kronis, yaitu kondisi ketika kemiskinan diwariskan dari generasi ke generasi.

Baca juga: Keracunan Berulang: Reformasi Makan Bergizi Gratis

 

Bayangkan, jika seorang anak yang lahir dari keluarga miskin, kemungkinan besar akan tumbuh miskin, kecuali terjadi intervensi kebijakan struktural yang “radikal dan berpihak pada keadilan sosial.”

Bayangkan sejak dalam kandungan, anak-anak dari keluarga miskin telah merasakan ketimpangan.

Ibunya kekurangan gizi, tidak mampu membayar biaya kesehatan prenatal, atau tinggal di lingkungan yang tidak layak.

Mereka tidak hanya mewarisi kemiskinan secara ekonomi, tapi juga kekurangan akses terhadap pendidikan, sanitasi, hingga gizi dalam lingkaran setan yang sulit diputus apabila negara terus abai.

Jika mereka bisa bersuara sejak dalam rahim, mungkin mereka akan berteriak: “Tolong jangan lahirkan saya ke dunia. Seharusnya saya dilahirkan untuk tidak menderita. Saya cemas dengan keadaan ekonomi orangtuaku yang masih menjerit dalam kemiskinan. Lalu bagaimana mungkin aku bisa menggenggam kebahagiaan itu? Mohon, tunda aku keluar dari perut ibuku.”

Saya sebenarnya menangis menggambarkan ilustrasi ini. Teriakan itu tidak akan terdengar oleh mereka yang duduk di menara gading kekuasaan.

Namun jerit itu nyata, hadir dalam bentuk kematian bayi akibat gizi buruk, anak-anak putus sekolah, hingga anak muda yang hilang masa depannya karena tidak pernah diberi kesempatan adil untuk berkembang. Fenomena seperti ini bahkan ada di sekitar kita masing-masing.

Jeritan yang tidak terdengar di ruang-ruang rapat para pengambil kebijakan, yang lebih sibuk membicarakan insentif dan posisi strategis daripada tangis bayi-bayi yang lahir tanpa masa depan.

Suara yang tidak mampu menembus dinding Istana, tapi menggema di setiap kolong jembatan, rumah petak kumuh, dan puskesmas yang kehabisan stok vitamin.

Jeritan anak itu seolah ingin mengatakan: "Aku pun ingin tertawa riang seperti anak-anak para penguasa dan elite negeri ini. Akupun ingin menikmati susu segar dan tempat tidur hangat seperti anak-anak yang lahir dari rahim kekuasaan. Akupun ingin bersekolah di tempat terbaik, memiliki mainan, makanan sehat, dan pelukan yang tidak dibebani kesedihan ekonomi. Akupun ingin tumbuh tanpa harus melihat ibuku menangis diam-diam karena tidak mampu membeli popok."

Refleksi ini membawa kita pada kesadaran bahwa kemiskinan bukan hanya tentang angka, bukan hanya soal tidak cukup makan atau sekolah.

Baca juga: Rakyat Miskin, Negara Kaya, Uangnya di Mana?

 

Ini soal keadilan yang dirampas. Soal mimpi yang diputus sebelum sempat tumbuh. Ini tentang bagaimana sistem bisa dengan tenangnya melahirkan kemiskinan baru, sementara di tempat lain seperti di gedung tinggi dan aula mewah, anak-anak dilahirkan untuk mewarisi kenyamanan dan kekuasaan.

Kemiskinan bukan hanya soal statistik dalam lembar laporan kementerian. Ia adalah kondisi hidup nyata yang menyengsarakan dan membunuh harapan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau