Oleh: Muh. Siddik Ibrahim*
INDONESIA kerap dipuji sebagai tanah surga. Pepatah lama menyebut, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman.”
Faktanya, negeri ini memang dianugerahi kekayaan alam melimpah. Dari emas di Papua, batu bara di Kalimantan, minyak dan gas di Sumatera, hingga nikel di Sulawesi.
Laut yang luas menjanjikan ikan tanpa henti, hutan yang lebat menjadi paru-paru dunia, dan tanah yang subur bisa menumbuhkan apa saja.
Singkatnya, jika ukuran bangsa adalah harta alam, Indonesia termasuk salah satu yang terkaya di dunia.
Namun, mari menoleh ke wajah rakyatnya. Di tengah kabar pertumbuhan ekonomi yang naik, kita masih mendapati ibu-ibu yang harus berutang di warung untuk membeli beras.
Kita masih melihat anak-anak putus sekolah karena orangtuanya tidak sanggup menanggung biaya hidup. Kita masih menyaksikan orang sakit menunda berobat karena biaya rumah sakit lebih mahal daripada kemampuan dompetnya.
Inilah paradoks yang menyayat hati: negara kaya, tetapi rakyatnya miskin.
Baca juga: Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
Secara logika sederhana, jika negara kaya, seharusnya rakyatnya sejahtera. Namun, kenyataan berkata lain. Pertanyaan yang wajar muncul adalah: jika negara kita begitu kaya, uangnya ada di mana?
Pertama, sebagian besar kekayaan alam kita diekstraksi oleh perusahaan besar, baik asing maupun domestik.
Dari tambang emas hingga minyak dan gas, kontrak kerja lebih banyak memberi keuntungan kepada pemilik modal ketimbang rakyat. Hasilnya, devisa memang masuk, tapi keuntungan terbesar tidak tinggal di negeri ini.
Kedua, kebocoran anggaran negara menjadi cerita lama yang tak pernah selesai. Laporan demi laporan menunjukkan betapa besar dana publik yang bocor lewat korupsi, mark up proyek, hingga penyalahgunaan wewenang.
Uang rakyat yang seharusnya kembali dalam bentuk sekolah, rumah sakit, atau jalan yang baik, justru lenyap di rekening segelintir orang.
Ketiga, kebijakan pembangunan kerap tidak berpihak pada mayoritas rakyat. Proyek mercusuar berdiri, infrastruktur megah dibangun, tapi tidak serta-merta menjawab kebutuhan dasar: pekerjaan layak, pendidikan bermutu, dan layanan kesehatan terjangkau.
Rakyat kecil sering hanya menjadi penonton dari “pesta” pembangunan.