
Presiden tidak sekadar mengingkari janji publiknya, tetapi juga mengalihkan risiko korporasi menjadi risiko negara, langkah yang secara konstitusional problematik.
Kebijakan tersebut menciptakan preseden berbahaya. Dalam sistem hukum modern, janji yang dituangkan dalam regulasi negara seharusnya bersifat mengikat dan menjamin kepastian hukum.
Ketika presiden dapat membatalkan sendiri kebijakan yang ia buat untuk menutupi kegagalan korporasi, konstitusi kehilangan maknanya sebagai pengendali kekuasaan.
Memang, Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 memberi presiden kewenangan menetapkan peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Namun, kewenangan itu tidak bersifat mutlak; ia harus digunakan “untuk melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya.”
Mengubah dasar hukum proyek demi kepentingan fiskal jangka pendek adalah manipulasi politik terhadap hukum, bukan pelaksanaan undang-undang yang benar.
Baca juga: Menakar Konsekuensi jika Gagal Bayar Utang Whoosh
Lebih jauh, tindakan ini bertentangan dengan asas good governance dan prinsip akuntabilitas fiskal yang diatur dalam Pasal 23 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Negara hukum menuntut disiplin keuangan dan konsistensi kebijakan publik. Namun, KCJB memperlihatkan sebaliknya: ketidakdisiplinan dilegalkan, sementara tanggung jawab presiden tidak berhenti pada aspek regulasi.
Sejak awal, desain proyek KCJB cacat secara sistemik. Skema B2B yang diusung pemerintah, seharusnya menjadi fondasi transparansi dan efisiensi, justru dinilai tidak realistis oleh banyak ekonom dan auditor negara.
PT KAI sebagai BUMN pelaksana tidak memiliki kapasitas finansial maupun pengalaman teknis untuk proyek sebesar ini.
Dengan tetap memaksakan model bisnis rapuh, presiden mengabaikan prinsip kehati-hatian sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Ketika pembengkakan biaya mencapai lebih dari 1,2 miliar dollar AS, negara akhirnya turun tangan dengan dana publik. Kegagalan ini bukan hanya kelalaian teknis, tetapi buah dari keputusan kebijakan yang salah secara konseptual dan konstitusional.
Dalam sistem presidensial, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi. Tanggung jawab akhir terhadap kebijakan strategis tidak bisa dialihkan kepada BUMN, menteri, atau pelaksana teknis.
Keputusan melanjutkan proyek KCJB tetap diambil meski terdapat keberatan dari pejabat teknis, termasuk Ignasius Jonan, yang sempat menunda izin trase karena ketidakjelasan pembiayaan. Namun, logika politik mengalahkan logika hukum dan teknis.
Ketika kehendak kekuasaan menundukkan rasionalitas teknokratik, yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa pertanggungjawaban, sah secara administratif, tetapi melanggar prinsip akuntabilitas publik.
Secara konstitusional, Pasal 7A UUD 1945 menetapkan batas mengenai pelanggaran yang dapat memberhentikan presiden: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela.
Baca juga: Projo di antara Kultus Jokowi dan Kekuasaan Prabowo