Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah sepakat target pendapatan negara naik sebesar Rp 5,9 triliun menjadi Rp 3.153,6 triliun pada postur sementara Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Target penerimaan negara meningkat dari outlook pendapatan negara 2025 Rp 3.005,1 triliun.
Kenaikan target pendapatan negara ini berasal dari komponen kepabeanan dan cukai yang ditargetkan naik Rp 1,7 triliun menjadi Rp 336 triliun. Sementara target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) khususnya dari Kementerian dan Lembaga (K/L) naik Rp 4,2 triliun menjadi total Rp 459,2 triliun.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Rizal Taufikurahman menilai, kenaikan target pendapatan negara Rp 5,9 triliun dalam RAPBN 2026 lebih merefleksikan penyesuaian akuntansi ketimbang terobosan struktural, karena hanya mengandalkan tambahan dari kepabeanan dan cukai serta PNBP K/L tanpa ada kepastian reformasi kelembagaan.
Baca Juga: Ini Rincian Asumsi Dasar Ekonomi Makro dalam RAPBN 2026, Target Pendapatan Naik
“Pemerintah memang menghindari opsi kenaikan tarif pajak demi alasan politik, namun strategi ini berisiko menekan sektor riil dan membuka celah moral hazard birokrasi lewat pungutan K/L yang tidak transparan,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (7/9/2025).
Agar target tidak sekadar kiasan fiskal, Rizal menyebut, untuk mencapai target penerimaan tersebut kuncinya ada pada perbaikan kepatuhan, evaluasi insentif yang menggerus basis pajak dan tata kelola PNBP yang akuntabel sehingga pendapatan benar-benar tumbuh di atas fondasi yang kredibel dan berkelanjutan.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, untuk mengerek penerimaan tahun depan, strategi yang lebih adil adalah memperluas basis pajak melalui optimalisasi pajak sektor digital, penguatan kepatuhan pajak bagi kelompok high wealth individual, serta mempersempit ruang penghindaran pajak yang selama ini banyak dimanfaatkan oleh korporasi besar.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan evaluasi serius terhadap insentif fiskal berupa tax holiday dan tax allowance, yang dalam praktiknya kerap tidak sebanding dengan manfaat investasi yang masuk; alih-alih menambah beban fiskal, penerimaan dari pos ini justru bisa ditingkatkan.
Di sisi lain, penerimaan negara non-pajak seperti royalti tambang, migas, dan pungutan ekspor komoditas perlu dioptimalkan dengan tata kelola yang lebih transparan agar tidak bocor di level implementasi.
Baca Juga: Target Pendapatan Negara Dinaiikan Jadi Rp 3.153,6 Triliun dalam RAPBN 2026
Menurutnya, pengenaan pajak hijau dan pajak dosa pun bisa tetap dijalankan, tetapi harus bersifat selektif dan diarahkan pada tujuan kesehatan publik serta keberlanjutan lingkungan, bukan sekadar instrumen penambal defisit.
“Dengan demikian, prinsip yang perlu ditegakkan adalah perpajakan yang adil, dimana siapa yang memiliki kemampuan finansial lebih besar harus menanggung porsi kontribusi lebih besar pula, sehingga penerimaan negara bisa meningkat tanpa harus menambah tekanan langsung terhadap kelompok masyarakat bawah,” tandasnya.
Selanjutnya: Promo Superindo Weekday 8-11 September 2025, Es Krim & Nugget Diskon Sampai 50%
Menarik Dibaca: Pesta Rakyat Bintang di Pestapora Ajak Pengunjung Jelajah Suasana Khas Nusantara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News