SEMARANG, KOMPAS.com – Pernyataan Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, yang menyebut kerja ke luar negeri sebagai salah satu solusi mengatasi pengangguran di Indonesia, dinilai terlalu menyederhanakan realitas di lapangan.
Sejumlah warga dari Jawa Tengah dan Yogyakarta mengungkap bahwa proses menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) justru diwarnai hambatan, mulai dari biaya tinggi, tidak adanya jaminan kerja, hingga praktik penipuan oleh Lembaga Pelatihan Kerja (LPK).
Wulandari (36), pekerja lepas asal Semarang, menjadi salah satu contoh kegagalan sistem penempatan tenaga kerja ke luar negeri.
Pada 2022, ia menerima tawaran kerja dari perusahaan di Polandia melalui LPK. Ia lalu membayar biaya administrasi sebesar Rp 3 juta.
"Saya sudah bayar Rp 3 juta, dijanjikan kerja di Polandia sebagai staf gudang, tapi sampai sekarang sudah tiga tahun tidak ada kabar," ungkapnya, Senin (30/6/2025).
Baca juga: Menteri Karding Minta Warga Cari Kerja di Luar Negeri, Bantu Kurangi Pengangguran
Wulan menyebut banyak calon pekerja migran harus mengeluarkan biaya besar hingga Rp 35 juta sebelum benar-benar bisa bekerja di luar negeri, dan itu belum termasuk biaya hidup selama pelatihan.
"Banyak yang harus jual motor, gadai rumah, bahkan berutang. Tapi enggak ada jaminan berangkat," tambahnya.
Wulan menyayangkan pernyataan pemerintah yang menyebut kerja di luar negeri sebagai jalan keluar, tanpa menggarisbawahi bahwa modal finansial menjadi hambatan utama.
Ia pernah mengusulkan agar biaya pelatihan dipotong dari gaji saat sudah bekerja, namun ditolak oleh pihak LPK.
"Kalau disuruh cari modal puluhan juta dulu, ya dari mana? Apalagi rata-rata penghasilan warga sini cuma Rp 2–3 juta," ujarnya.
Baca juga: Rakyat Sendiri Disuruh Kerja di Luar Negeri, tapi WNA Malah Kerja di Sini
Meski mengakui bahwa pekerja Indonesia dikenal cekatan dan bisa bersaing, ia menegaskan bahwa semangat saja tidak cukup bila sistem masih mempersulit.
Ia berharap pemerintah tidak hanya mendorong, tetapi juga benar-benar hadir melalui subsidi biaya, pengawasan ketat terhadap LPK, dan skema perlindungan jangka panjang bagi calon pekerja migran.
"Orang Indonesia itu mampu dan prigel. Tapi pemerintah harus buka jalan, bukan hanya menyuruh," tutup Wulan.
Marvin (21), pemuda asal Tengaran, bahkan rela menjual sapi milik keluarganya demi mengikuti pelatihan kerja untuk ke Jepang.
"Sudah 4 bulan ikut pelatihan pertanian, tapi belum ada kepastian penempatan. Semuanya tergantung job yang datang," katanya.