JAKARTA, KOMPAS.com – Di ujung utara Pulau Kalimantan, tepatnya di Sungai Limau, Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, berdiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon.
Sekolah ini menjadi harapan utama pendidikan bagi anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di perbatasan Indonesia–Malaysia.
Dengan jumlah murid hanya 48 orang, MI Darul Furqon berdiri di tengah sarana pendukung pendidikan yang sangat terbatas.
Namun, semangat belajar para siswa dan dedikasi para guru menjadikannya simbol kehadiran negara di wilayah terluar.
Baca juga: Memecah Sunyi di MI Darul Furqon Sebatik, Saat Siswa yang Pemalu Akhirnya Tertawa
Tim Kompas.com mengunjungi MI Darul Furqon dalam program Jagat Literasi “Ekspedisi Kata ke Nyata” pada Rabu (13/8/2025).
Akses menuju sekolah masih berupa tanah dan bebatuan yang licin saat hujan, memaksa guru dan murid melewati jembatan kayu rapuh.
“Suka-dukanya (menjadi guru di sini). Dukanya itu pada saat di medan, terutama di jalan, pada saat habis hujan, kita menempuh jalan yang begitu menantang,” kata guru MI Darul Furqon, Irama Yanti.
Kepala sekolah Adnan Lolo mengakui jalan rusak kerap menghambat kehadiran.
“Berangkat dari rumah pada saat musim hujan sampai di sini, masih hujan juga jalanan, yang belum diaspal, masih memakai tanah liat. Nah itu lah yang biasa memperlambat kita datang ke sekolah,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Alia, Anak Pulau Sebatik yang Menolak Sekolah di Negeri Jiran
Meski demikian, Adnan bersyukur sekolah kini memiliki listrik dan internet berkat bantuan Bakti Aksi, setelah bertahun-tahun tanpa akses tersebut.
Bangunan sekolah dan asrama masih jauh dari layak. Asrama tempat tinggal murid—anak-anak TKI di Malaysia—memiliki jendela berlubang. Musholla dan perpustakaan pun tak kalah memprihatinkan.
Perpustakaan terbuat dari kayu lapuk dengan lantai semen berlapis terpal tipis, hanya berisi dua meja panjang untuk membaca.
“Sering baca, buku-bukunya bagus. Lebih semangat kalau baca di perpustakaannya yang bagus,” kata Fitri (11).
“Mau baca Kisah Nabi,” timpal Rizky (12).
Kelas di sekolah itu berisi maksimal 11 murid, bahkan sebagian disekat menjadi dua ruangan untuk menampung kegiatan belajar.
Pica, salah satu siswi, bercita-cita menjadi dokter agar bisa membanggakan orang tuanya—ayahnya penyabit kelapa sawit, ibunya pembuang baja di Malaysia.
“Iya (termotivasi untuk sukses lebih dari orangtua). Pengin jadi dokter,” ujarnya.
Adnan mengapresiasi kegiatan Kompas.com yang mengajak relawan mengajar dengan metode menyenangkan, termasuk STEM, dan mendonasikan buku.
“Jadi literasi itu sangat penting apalagi di usia anak MI... Itu bentuk kesyukuran saya sebagai Kepala Madrasah dengan adanya Kompas.com hari ini,” tuturnya.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini