NUNUKAN, KOMPAS.com – Suasana di ruang kelas Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Furqon, Pulau Sebatik, terasa ganjil pada Rabu (13/8/2025) pagi.
Di hadapan para relawan ekspedisi Kata ke Nyata dari Jagat Literasi Kompas.com, puluhan pasang mata menatap dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Tidak ada celoteh riuh atau sahut-menyahut pertanyaan. Yang ada hanya keheningan dari anak-anak yang terkesan sangat pemalu dan tertutup.
Pemandangan ini kontras dengan pengalaman relawan di sekolah-sekolah lain di Pulau Sebatik yang biasanya disambut dengan heboh. Kepala Madrasah MI Darul Furqon, Adnan Lolo, tersenyum maklum melihat kebingungan para relawan.
"Maklumlah mereka baru mengalami belajar dengan cara teman-teman Kompas.com," ujar Adnan Lolo, mencoba menjelaskan situasi.
Di balik dinding keheningan itu, tersimpan sebuah realitas yang kompleks.
Adnan memaparkan, sekitar 90 persen murid di sekolahnya adalah anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di mes-mes perkebunan kelapa sawit di wilayah Malaysia.
Lingkungan yang terisolasi membentuk karakter mereka menjadi lebih pendiam saat bertemu dengan orang baru atau suasana yang asing.
Tantangan di sekolah ini berlapis-lapis. Para guru, yang sebagian besar baru mengajar kurang dari dua tahun, harus beradaptasi dengan sistem belajar yang sederhana.
Hal ini, diakui Adnan, terkadang kurang mampu memantik minat anak-anak. Perpustakaan sekolah pun menjadi ironi tersendiri.
"Kendala kami juga tidak ada buku untuk usia anak-anak SD. Banyak koleksi buku di perpustakaan kami hasil bantuan. Tapi tidak relevan untuk anak-anak," keluh Adnan.
Fenomena unik pun terjadi setiap hari. Anak-anak yang sama, yang membisu di dalam kelas, justru bisa berubah menjadi sangat riuh saat jam istirahat tiba.
"Mereka kalau main di lapangan suaranya keras. Tapi di dalam kelas hilang itu suara. Itu juga yang dikeluhkan guru," imbuhnya.
Lingkungan anak-anak TKI di dalam mess perkebunan bisa juga menimbulkan perasaan tak nyaman bagi anak-anak ketika dikumpulkan dengan anak lain yang terbiasa tinggal di perkotaan.
"Tantangan kami banyak sekali, belum mencari murid, mempertahankan mereka bagaimana tetap sekolah, dan mengubah karakter mereka yang sedikit tertutup," kata Adnan lagi.