SAMARINDA, KOMPAS.com — Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat sebanyak 64 kasus campak terjadi sejak Januari hingga Agustus 2025.
Angka ini memang lebih rendah dibanding periode Januari–Desember 2024 yang mencapai 160 kasus.
Namun, Balikpapan menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi.
Baca juga: Daerah Perbatasan di Jember Rawan KLB, Dinkes Gencarkan Vaksinasi Campak Massal
“Untuk tahun 2024 ada 160 kasus campak. Sementara tahun ini, Januari sampai Agustus, sudah ada 64 kasus. Dari jumlah itu, Balikpapan paling tinggi dengan 53 kasus,” ujar dr. Ivan Hariyadi, Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kaltim, Kamis (28/8/2025).
Selain Balikpapan, kasus campak juga ditemukan di Bontang sebanyak 7 kasus, Samarinda 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus di Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara (PPU).
Menurut Ivan, meningkatnya kasus di Balikpapan diduga dipicu mobilitas penduduk yang tinggi.
Banyaknya pekerja dari luar daerah yang masuk ke kota tersebut membuat potensi penularan lebih besar.
“Di daerah dengan mobilitas tinggi, penyebaran penyakit menular lebih cepat,” ujarnya.
Ivan menekankan, campak sebenarnya penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi.
Program vaksinasi campak dan rubella (MR) diberikan kepada anak usia 9 bulan, 18 bulan, serta saat masuk sekolah dasar. Namun, sebagian besar pasien yang kini terjangkit campak diketahui belum pernah diimunisasi.
“Dari total 64 kasus campak, sekitar 56 persen tidak diimunisasi sama sekali. Ada juga yang sudah diimunisasi tapi tetap terkena, hanya gejalanya lebih ringan,” jelas Ivan.
Gejala campak umumnya berupa demam, ruam merah di kulit, batuk, dan bisa berlanjut pada komplikasi serius seperti pneumonia, diare, hingga infeksi pada mata. Meski demikian, hingga kini Kaltim belum mencatat adanya kematian akibat campak.
Dinkes Kaltim mencatat, cakupan imunisasi dasar lengkap di provinsi ini baru sekitar 75 persen, masih di bawah target 90 persen.
Baca juga: Terhambat Isu Haram, Dinkes Pamekasan Temui MUI dan Pastikan Vaksin Campak Halal
Kondisi ini membuat sebagian anak rentan tertular ketika ada kasus baru.
Ivan mengungkapkan, rendahnya cakupan imunisasi dipengaruhi berbagai faktor.
“Ada orang tua yang masih memperdebatkan kehalalan vaksin, ada yang percaya herbal lebih cukup, atau karena takut anaknya demam setelah imunisasi. Padahal vaksin itu gratis dan tersedia di semua fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Ia mengingatkan, imunisasi merupakan hak anak dan tanggung jawab orang tua untuk melindungi mereka dari penyakit berbahaya.
“Kalau anak-anak diimunisasi lengkap, penularan bisa ditekan. Kalau tidak, selalu ada kantong-kantong yang rentan dan akhirnya kasus meningkat,” kata Ivan.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini