MADIUN, KOMPAS.com - Tujuh pekerja migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Madiun dan Magetan, Jawa Timur, yang menjadi korban perdagangan orang di Guinea Ekuatorial, Afrika, berhasil dipulangkan ke Tanah Air pada Rabu (3/9/2025).
Proses pemulangan mereka terpaksa menunggu selama satu tahun.
Agus Subiyanto, salah satu korban yang berasal dari Desa Sugihwaras, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun, mengungkapkan bahwa ia telah melaporkan kejadian yang dialaminya kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Abuja, Nigeria, sejak 14 Agustus 2024.
Setelah menunggu lebih dari setahun, Agus dan enam rekannya dapat kembali ke Indonesia.
“Pada 14 Agustus 2024 saya resmi melapor. Namun laporan itu baru ditindaklanjuti pada April 2025."
"Dari tindak lanjut tersebut, kami berhasil dipulangkan ke Indonesia pada hari ini (3 September 2025),” ujar Agus saat ditemui di acara penyambutan pemulangan pekerja migran di Kantor Bupati Madiun.
Baca juga: Pelaku Pencurian Motor Relawan PMI Bangkalan Ditangkap, Berdalih untuk Biaya Berobat Anak
Agus menjelaskan bahwa dirinya dan teman-temannya tertarik dengan tawaran lowongan kerja di bidang penebangan kayu dan alat berat di Guinea Ekuatorial, yang menjanjikan gaji pokok sebesar 1.500 dollar AS ditambah tunjangan makan 100.000 Franc CFA per bulan.
Mereka berangkat pada 9 Agustus 2024, namun setibanya di lokasi kerja, Agus menemukan kondisi yang sangat berbeda.
“Setelah tiba, kami mendapatkan tempat tinggal yang sederhana dan dipekerjakan di hutan dengan menggunakan alat berat. Namun, lama-kelamaan kami dipekerjakan berpindah-pindah dengan hak pekerja yang tidak jelas."
"Dari situlah kami mulai curiga bahwa kami menjadi korban perdagangan orang,” ungkap Agus.
Sejak November 2024, Agus dan rekan-rekannya tidak pernah menerima gaji yang dijanjikan.
Mereka hanya mendapatkan uang makan sekitar Rp 2.000.000 setiap bulan.
"Kami tetap bekerja karena butuh biaya hidup, meski hanya diberi uang makan," tambahnya.
Baca juga: PMI di Malaysia Bandingkan Demo Indonesia dan Malaysia
Tidak tahan dengan sistem kerja yang tidak adil, Agus dan rekan-rekannya sempat mogok kerja, tetapi pihak perusahaan tidak menggubris.
"Akhirnya kami kembali bekerja. Kalau kami tidak kerja, kami tidak bisa makan," ujar Agus.