PASURUAN, KOMPAS.com - Di tengah era digitalisasi, meningkatkan budaya membaca masyarakat menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh seorang pustakawan.
Mereka harus tetap menjadi garda literasi di tengah arus informasi yang kian tidak terbendung.
Edy Susanto, seorang pustakawan yang berdinas di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Pasuruan mengaku banyak tantangan yang dihadapi menjadi seorang pustakawan.
Baca juga: Maya, Pustakawan Unej yang Rajin Buat Resensi untuk Tingkatkan Literasi Publik
Di era digitalisasi, mereka wajib untuk meningkatkan pengetahuan tentang semua informasi.
"Saat ini, anak muda sudah mulai enggan untuk membaca buku secara manual. Kecenderungan anak-anak sekarang lebih pada visual, bukan teks," ujarnya, Senin (15/9/2025).
Edy, yang sudah menjadi pustakawan selama 15 tahun, merasakan betul perubahan minat baca yang berdampak pada literasi seseorang.
Baca juga: 12 Tahun Mengabdi, Pustakawan Tak Sekadar Menjaga Rak Buku
Di era 2010, minat baca saat itu masih tinggi.
Smartphone belum banyak dikenal, begitu pula media sosial yang belum sebanyak saat ini.
"Saat itu, zamannya internet. Kalau mau berselancar di dunia maya, ya harus ke internet. Kalau sekarang, cukup di smartphone. Mencari informasi apa saja jadi gampang," katanya.
Menurutnya, sejatinya kehadiran smartphone seharusnya menjadi bagian untuk memperkuat literasi, bukan semakin memperburuk.
Saat ini, tugas pustakawan semakin tertantang karena hadirnya smartphone dengan segala kecanggihan yang disajikan.
"Misalnya, adanya AI, seharusnya digunakan dalam hal pengembangan kreativitas sehingga dapat bermanfaat. Bukan membuat narasi visual atau teks yang digunakan untuk hal negatif, seperti provokasi yang berujung hoaks atau menimbulkan disinformasi," katanya.
Salah satu yang dilakukan untuk menjawab tantangan itu adalah pustakawan harus berkolaborasi dengan komunitas atau kelompok.
Selain itu, mereka harus melakukan inovasi dalam rangka memperkuat literasi bagi usia remaja.
"Seperti saat ini, yang kami lakukan adalah menggandeng sekolah. Para siswa kami ajak untuk membuat tulisan seperti cerpen. Kemudian, dari hasil karya itu disandingkan dengan AI. Sehingga, originalitas tulisan benar ada pembandingnya," tegasnya.
Hal serupa juga diungkapkan Deady Suryadilaga, pustakawan di Dinas Arsip dan Perpustakaan Kota Pasuruan.
Menurutnya, AI dan kemajuan teknologi tidak dapat dihindari, namun juga jangan sampai merugikan.
"Misalnya, saat ini AI dapat menghasilkan gambar atau tulisan secara otomatis. Namun, AI bisa saja salah jika pesan yang dimasukkan kurang tepat akibat literasinya kurang," terangnya.
Untuk itu, seorang pustakawan harus berpacu membangun inovasi di tengah lemahnya minat baca.
"Misalnya, di perpustakaan ini ada penurunan kunjungan umum ke kantor perpustakaan, maka kepedulian pustakawan harus turun ke lapangan. Misalnya, ke sekolah, mengajak komunitas, atau yang lain," katanya.
Saat ini, di Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Pasuruan sudah mempunyai sejumlah program untuk menambah sekaligus memperkuat literasi bagi warga Kota Pasuruan.
Di antaranya, Silabu (Sistem Pinjam Antar Buku). Petugas perpustakaan mengantar buku bagi warga yang ingin membaca tanpa harus mendatangi Kantor Perpustakaan dan Kearsipan.
Ada juga Kompling Mas (Kolaborasi Perpustakaan Keliling Masyarakat). Warga dapat menikmati layanan baca buku yang dibawa keliling di tempat tertentu.
Biasanya, kegiatan ini digelar di tempat keramaian.
"Pustakawan itu harus jadi pemantik guna memperkuat literasi seseorang, khususnya bagi pemuda dan siswa sekolah," katanya.
Saat ini, koleksi buku yang dimiliki Perpusda Kota Pasuruan sebanyak 30.000 buku, mulai dari jenis buku ilmiah, fiksi, majalah, hingga jurnal.
Dari jumlah puluhan ribu buku tersebut, juga disebar di 34 pojok baca setiap kelurahan.
Untuk mengelola buku-buku tersebut, terdapat 8 pustakawan dan 4 tenaga teknis.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang