Aliansi Perempuan desak penghentian kekerasan negara – Apa bedanya dengan gerakan Suara Ibu Peduli pada 1998?

Sumber gambar, Antara
Ratusan perempuan yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia pada Rabu (03/09) menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR, mendesak Presiden Prabowo menghentikan kekerasan dan tindakan represif aparat terhadap masyarakat yang menyuarakan pendapat.
Gerakan ini mengingatkan publik pada aksi "Suara Ibu Peduli" yang muncul pada 23 Februari 1998, tatkala sekelompok aktivis perempuan berdemonstrasi di Bundaran Hotel Indonesia untuk menyuarakan kegelisahan sosial.
Salah seorang aktivis yang tergabung di Aliansi Perempuan Indonesia, Mutiara Ika, mengatakan bahwa aksi Suara Ibu Peduli yang digelar 27 tahun lalu itu memang menjadi salah satu inspirasi kelompoknya untuk menggelar demonstrasi hari ini, kendati isu yang disuarakan tergolong berbeda.
"Itu [Suara Ibu Peduli] mengajarkan soal bagaimana gerakan perempuan itu berada di garis depan untuk melindungi demokrasi," kata Mutiara Ika yang merupakan aktivis dari Perempuan Mahardhika.
Dalam aksi yang dimulai sekitar pukul 10.00 WIB tersebut, mayoritas massa Aliansi Perempuan Indonesia mengenakan kaos merah jambu bertuliskan "Protes Adalah Hak". Sebagian lain membawa sapu lidi sebagai simbol persatuan dan pembersihan pemerintahan dari perilaku koruptif serta kekerasan.
Mereka juga membentangkan beragam poster dan spanduk, seperti "Reformasi Kepolisian Secara Menyeluruh", "Hentikan Kekerasan Negara", atau "Pembebasan Tanpa Syarat Massa Aksi yang Ditahan di Seluruh Indonesia".
"Kami ingin bersama-sama mengajak perempuan untuk mempertahankan demokrasi yang ada di Indonesia," ujar Mutiara, menjabarkan latar belakang demonstrasi tersebut digelar.
'Semoga rakyat selalu melawan'

Sumber gambar, Antara
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah perempuan yang berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut.
Mereka menyuarakan keresahan kolektif: praktik kekerasan yang terus dilakukan negara dan lemahnya perlindungan pemerintah akan kebebasan berpendapat.
Salah seorang pendemo yang meminta untuk diidentifikasi sebagai Ming mengatakan, pemerintah saat ini seolah sudah tidak peduli sehingga terus melakukan kekerasan dalam meredam suara ketidakpuasan masyarakat.
"Dari dulu sudah dilakukan [kekerasan], tapi sampai sekarang masih juga dilakukan," kata perempuan berusia 20 tahun tersebut.
"Menurut saya, pemerintah sudah enggak peduli. Terutama soal HAM yang seharusnya ada pengakuan dan permintaan maaf resmi, tapi enggak ada."
Ming hadir di unjuk rasa bersama dua sahabatnya dari Depok, Jawa Barat.
Kendati tidak mengenakan kaus merah jambu, Ming tiba dengan menenteng sapu lidi dan poster bertuliskan "Refuse, Resist, Rebel, Revolt".
Ia pun menyimak dengan khidmat pidato para orator yang silih berganti mengisi panggung kecil di atas mobil komando yang berjarak beberapa meter di hadapannya.
Saat sesekali seruan perlawanan dilantangkan orator, ia merespons dengan mengangkat sapu lidi yang dibawanya tinggi-tinggi.
Bagi Ming, aksi yang diinisiasi Aliansi Perempuan Indonesia ini adalah demonstrasi pertama yang diikutinya. Ia akhirnya berani hadir setelah melihat demonstrasi diinisiasi kelompok perempuan.
Meski unjuk rasa kali ini hanya diikuti ratusan orang, Ming percaya demonstrasi yang diikutinya dapat menambah tekanan kepada pemerintah.
"Kehadiran saya ke demonstrasi ini sebagai simbolisasi rakyat yang melawan. Semoga rakyat selalu melawan," pungkasnya.
Mutiara Ika menambahkan, unjuk rasa ini digelar setelah menyaksikan rangkaian kekerasan oleh negara terus terjadi beberapa waktu belakangan.
"Eskalasi kekerasan terhadap demonstrasi masyarakat, kami melihatnya justru jauh dari proses mereda," kata Mutiara.
Bersama organisasi perempuan dan kelompok marjinal, Mutiara kemudian menginisasi aksi hari ini dengan nama Aliansi Perempuan Indonesia.
Aliansi berisi 90 organisasi yang berfokus pada isu perempuan, kesetaraan gender, dan perlindungan kelompok minoritas.
Perihal penggunaan warna merah jambu dalam aksinya, Mutiara mengaku terinsipirasi dari aksi seorang ibu berkerudung merah jampu yang terlibat dalam demonstrasi akhir Agustus lalu.
Dalam beberapa foto yang viral di media sosial, ibu berkerudung merah jambu itu tampak berhadap-hadapan dengan barikade polisi. Dalam satu momen, ia juga terlihat tengah memukulkan bambu ke kepala seorang polisi.
"Selain kemarahan, baju pink ini juga memunculkan keberanian," ujar Mutiara.
Adapun sapu lidi disebutnya sebagai simbolisasi "ajakan kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mempertahankan dan memperjuangkan demokrasi Indonesia".
Mutiara berharap demonstrasi Aliansi Perempuan Indonesia ini dapat memantik perempuan lain di antero Indonesia untuk terus menyuarakan kritik terhadap pemerintah.

Sumber gambar, Arie Firdaus
Selain menyuarakan protes atas kekerasan negara dan sikap represif pemerintah, Mutiara menyebut aksi ini juga menyertakan tuntutan perlindungan perempuan.
Ia merujuk rangkaian kekerasan terhadap perempuan pada kerusuhan 1998 dan konflik beberapa daerah seperti Aceh, Poso, Ambon, dan Papua yang tak kunjung diselesaikan pemerintah sampai saat ini.
"Belum menjadi perhatian pemerintah secara khusus, untuk mengusut tuntas dan juga memberikan pemulihan kepada korban," ujarnya.
Sementara di sisi lain, lanjut Mutiara, Presiden Prabowo Subianto tidak kunjung bisa memberikan ketenangan dengan mengeluarkan pernyataan yang dinilai Mutiara memberikan legitimasi polisi dan tentara untuk melakukan kekerasan.
"Saya merasa situasi tersebut akan menggerus demokrasi yang ada di Indonesia dan semakin memperkuat atau bahkan dapat memicu kembali kekerasan-kekerasan terhadap perempuan," pungkasnya.
Echa Waode, aktivis Arus Pelangi menggaungkan hal sama, meminta pemerintah untuk berfokus memenuhi substansi tuntutan masyarakat, alih-alih meresponsnya dengan kekerasan.
"Untuk pemerintah, hentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap massa aksi. Diserang dan ditangkap secara senyap," kata Echa.
Bersama Arus Pelangi, oganisasi nirlaba yang berfokus pada perlindungan LGBTQ, Echa pun mendesak pemerintah menghentikan diskriminasi.
Menurutnya, kelompok LGBTQ selama ini kesulitan mengakses peluang kerja formal. Beberapa yang telah bekerja, terang Echa, bahkan dipaksa resign.
"Seharusnya yang dilihat itu skill-nya, bukan orientasi seksual," kata Echa.
"Harapan saya, negara enggak lagi diskriminatif, termasuk kepada kawan-kawan minoritas, baik di pendidikan, pekerjaan, maupun ruang-ruang sosial."
Bagaimana suasana unjuk rasa?
Echa Waode dan Mutiara Ika sempat pula menjadi orator dalam demo yang tuntas sekitar pukul 13.00 WIB tersebut.
Mutiara, dengan suara menggelegar, sempat menyuarakan agar masyarakat tetap berusaha keras menjaga iklim demokrasi sehat di Indonesia.
"Maka, aksi kekuatan pink akan menjadi spirit yang kita akan terus bawa," ujar Mutiara.
Adapun Echa meminta pendemo untuk mengangkat tinggi-tinggi sapu lidi yang telah mereka bawa, sebagai simbol pembersihan pemerintah dan parlemen yang dipenuhi perilaku koruptif dan kekerasan.
"Kita bawa sapu untuk apa? Untuk menyapu koruptor yang banyak di gedung DPR," ujar Echa dengan suara lantang.

Sumber gambar, BBC/Arie Firdaus
Selain keduanya, aktivis buruh perempuan Nining Elitos juga sempat berorasi di hadapan massa Aliansi Perempuan Indonesia.
Nining mengkritisi tunjangan besar bagi anggota DPR, tapi tidak dibarengi kinerja apik.
"Cabut tunjangan DPR karena mereka adalah beban. Kita tidak bisa lagi berharap pada mereka," ujar Nining.
Selain diisi orasi dan bentangan beragam poster serta spanduk, massa Aliansi Perempuan Indonesia juga menggelar aksi teatrikal menabur bunga di depan gerban gedung parlemen.
Mereka memutup aksi dengan membacakan pernyataan bersama dan membubuhkan cap tangan berwarna hijau serta merah muda ke sebuah spanduk.
Selain meminta penghentian kekerasan negara dan sikap represif aparat, Aliansi Perempuan Indonesia dalam pernyataan bersama juga meminta pemerintah menarik tentara dari penanganan ketertiban masyarakat, menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat serta aktivis, dan meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk mundur dari jabatannya.
Mengingatkan akan gerakan Suara Ibu Peduli
Aksi yang digagas Aliansi Perempuan Indonesia ini mengingatkan akan gerakan Suara Ibu Peduli pada 1998.
Gerakan itu diinisiasi astronom pertama Indonesia, Karlina Supelli, sebagai keresahan akan kelangkaan susu dan mahalnya harga bahan pokok.
Keresahan itu kemudian meluas pada tuntutan yang lebih besar: protes terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto.
Dikutip dari Tempo, Suara Ibu Peduli berawal dari percakapan di ruang redaksi Jurnal Perempuan pada akhir 1997. Dari percakapan itu, muncul sebuah pertanyaan soal mahasiswa yang belum bergerak padahal harga bahan pokok sudah melonjak.
Salah seorang mahasiswa Korea yang ikut dalam percakapan itu kemudian melontarkan gagasan, "Kalau mahasiswa belum bergerak, kenapa tidak ibu-ibunya?"
Dari sana, Karlina kemudian mengundang beberapa orang lain untuk rapat di kantor Jurnal Perempuan.
Hasilnya, mereka bersepakat membentuk gerakan bernama Suara Ibu Peduli. Nama tersebut dipilih karena terdengar sangat domestik, terang Karlina di Tempo.
Nama itu juga bagian strategi politik untuk menyiasati tudingan subversif, selain memuat simbolisasi politik perempuan. "Jika ibu sudah turun ke jalan, berarti ada masalah serius dalam pemerintahan", terang Karlina.
Mereka kemudian memilih 23 Februari 1998 untuk melangsungkan aksi perdana.

Sumber gambar, ANTARA
Tanggal itu dipilih karena bertepatan dengan hari perama sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat yang akan memilih kembali Soeharto sebagai presiden.
Lokasi aksi pun ditetapkan di Bundaran Hotel Indonesia. Pemilihan kawasan ini dilakukan karena dekat dengan banyak kantor kedutaaan negara asing, mal, serta pusat perbelanjaan, sehingga bila ada kekerasan aparat, akan mudah terpantau dan menyebarluas ke luar negeri.
Selain Karlina, aksi di Bundaran HI juga diikuti sejumlah perempuan lain, seperti pendiri Jurnal Perempuan, Gadis Arivia dan aktivis perempuan, Wilasih Noviana.
Aksi berlangsung singkat. Belum lama setelah membentangkan spanduk "Harga Susu Turun, Harga Diri Naik", aparat keamanan membubarkan aksi dan menangkap Karlina Cs.
BBC News Indonesia berbicang dengan Nursyahbani Katjasungkana yang ikut dalam persiapan aksi tersebut.
Nursyahbani yang saat itu mengabdi di LBH Apik mengatakan, kelompok perempuan telah menyiapkan beragam strategi kala itu. Pengacara publik seperti dirinya, misalnya, telah diminta berjaga-jaga jika sewaktu-waktu ada penangkapan.
"Mereka menelpon saya, memberitahu bahwa LBH APIK dan LBH Jakarta berjaga di ring dua. Sehingga kalau ada penangkapan, merkea akan segera bertindak mendampingi," ujar Nursyahbani.
Bersama aktivis perempuan Apong Herlina, Nursyahbani kemudian mendampingi Karlina Cs menjalani proses hukum.
Karlina belakangan divonis 70 hari penjara, dipotong masa tahanan saat proses penyidikan.
Menilik aksi Aliansi Perempuan Indonesia yang memprotes tindakan represif dan kekerasan pemerintah beberapa waktu belakangan, Nursyahbani melihatnya tak jauh berbeda dengan gerakan Suara Ibu Peduli.
Menurutnya, kedua gerakan "menyoal hal sama: ketidakadilan sosial".
Alhasil, ia pun mengapresiasi aksi yang digagas Aliansi Perempuan Indonesia meskipun sejumlah isu yang dibawa dalam demonstrasi kali ini jauh lebih kompleks ketimbang 27 tahun lalu.
Nursyahbani menyebut, suara perempuan sejatinya sangat penting dalam sebuah gerakan sosial.
Tak sekadar menyoal jumlah perempuan yang besar di Indonesia, ia menyebut perempuan seringkali dapat menggambarkan realita dan penderitaan masyarakat.
"Perempuan terdampak paling parah dari berbagai kebijakan dan siruasi kondisi sossial, ekonomi, dan politik, tapi sering tidak diperhitungkan," katanya.
Ia merujuk kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang memengaruhi kehidupan ibunya.
"Kematian Affan berdampak sangat parah. Lahir dan batin ibunya sangat menggantungkan kehidupan pada Affan, kan?" kata Nursyahbani, seraya menambahkan, "Jadi, suara perempuan tentu penting sekali."
"Sementara Suara Ibu Pertiwi mengabstraksi simbol itu, bahwa kematian anak bangsa karena mahalnya harga susu juga akan mematikan ibu pertiwi."