BEBERAPA waktu belakang kembali mencuat perihal kesejahteraan dosen di Indonesia. Kesejahteraan dosen ini sering terselip di balik megahnya gedung-gedung perguruan tinggi, modernisasi kampus, dan deretan pencapaian akademik.
Meski menyandang peran sebagai pilar utama pendidikan tinggi, banyak dosen terutama yang bekerja di perguruan tinggi swasta (PTS) masih harus berjibaku memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ironis, padahal di tangan mereka kualitas sumber daya manusia Indonesia dipertaruhkan.
Isu tentang pendapatan dosen bukan hal baru, tetapi kerap kali hanya menjadi wacana musiman, tanpa langkah konkret dan terukur.
Bahkan di kampus negeri sekalipun, tidak semua dosen menikmati kesejahteraan yang layak. Sebagian besar hanya bergantung pada gaji pokok dan tunjangan yang sering kali tidak sebanding dengan beban kerja dan tanggung jawab keilmuan yang mereka emban.
Baca juga: Kesejahteraan Dosen: Antara Angka dan Rasa Keadilan
Formulasi gaji dosen di Indonesia saat ini terbagi ke dalam dua ekosistem besar: dosen Pegawai Negeri Sipil (PNS) di perguruan tinggi negeri dan dosen di perguruan tinggi swasta.
Dosen PNS mendapat gaji pokok berdasarkan golongan, ditambah tunjangan profesi, tunjangan fungsional, hingga remunerasi di kampus-kampus tertentu. Meski belum ideal, setidaknya skema ini masih memberikan kepastian pendapatan.
Sebaliknya, dosen di PTS—yang jumlahnya lebih dari 60 persen total dosen nasional, seringkali berada di bawah standar penghasilan minimum.
Banyak dari mereka digaji berdasarkan jumlah SKS yang diajarkan, tanpa tunjangan tetap, jaminan hari tua, atau asuransi kesehatan yang memadai.
Bahkan, tidak sedikit dosen yang menerima honor bulanan di bawah UMR daerah. Bahkan di beberapa kampus ada yang tidak lagi membayarkan gaji pokok dari dosen apabila dosen tersebut telah menerima tunjangan sertifikasi dosen.
Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana Indonesia bisa mendorong lompatan kualitas pendidikan tinggi jika tulang punggungnya justru tidak sejahtera?
Tugas dosen tidak hanya mengajar di kelas. Mereka juga diwajibkan melakukan penelitian, pengabdian kepada masyarakat, menyusun laporan kinerja, membimbing mahasiswa, serta aktif menulis publikasi ilmiah, baik untuk kebutuhan sertifikasi maupun akreditasi institusi.
Ini belum termasuk kewajiban administratif yang makin menumpuk dari tahun ke tahun.
Sayangnya, semua itu tidak secara otomatis dikonversi menjadi peningkatan kesejahteraan. Insentif riset dan publikasi masih bersifat kompetitif dan terbatas.
Dalam praktiknya, banyak dosen justru mengorbankan waktu riset untuk mengambil pekerjaan sambilan seperti mengajar di kampus lain, menjadi pembicara, menjadi ojok online (ojol) atau bahkan membuka usaha kecil demi menopang kebutuhan hidup.