Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Intoleransi Berbuah Bullying

Kompas.com - 03/06/2025, 13:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Riana Sahrani*

MASYARAKAT Indonesia digemparkan lagi dengan kasus bullying yang baru-baru ini terjadi di Riau. Seorang anak berusia 8 tahun dirundung hingga tewas oleh teman-temannya lantaran berbeda keyakinan (agama). Sungguh miris.

Kondisi ini cukup tergambarkan dari hasil penelitian Rahayu dkk. (2023) mengenai radikalisme pada siswa SMA di Jabodetabek.

Dalam penelitian tersebut, dari 434 siswa menyatakan masih setuju dengan adanya radikalisme dari segi agama dan politik (15,4 persen).

Tentu saja hal ini menggambarkan adanya intoleransi dalam hal beragama, yang dapat mengarah kepada tindak kekerasan, terutama pada orang yang dinilai mempunyai keyakinan berbeda (yang tentu saja dari kelompok minoritas).

Sebaliknya, bullying yang berasal dari adanya intoleransi terhadap agama, suku, politik, atau hal apapun, bisa saja berbuah menjadi sikap dan perilaku radikal, yang tentunya menjadi hal mengkhawatirkan.

Baca juga: Kiat Membentuk Keterampilan Sosial Anak

Bullying merupakan tindakan penindasan atau kekerasan oleh orang (sekelompok orang) yang lebih kuat (berkuasa), terhadap orang lain yang lebih lemah. Mereka melakukan bullying dalam rangka menyakiti orang lain, serta dilakukan secara terus-menerus.

Sikap toleransi seharusnya dapat diajarkan sejak anak masih kecil. Orangtua berperan sangat besar dalam hal ini, terutama dalam mencontohkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan oleh orangtua (dan juga guru di sekolah).

Pertama, memberikan pemahaman pada anak bahwa kita sejak lahir sudah berbeda dengan orang lain, bahkan dari saudara kandung kembar sekalipun.

Ada yang berambut lurus, ada juga yang keriting. Ada yang berlesung pipit dan tidak. Ada yang berkulit putih dan ada yang coklat.

Kita juga hidup dalam dunia yang penuh perbedaan, beda negara, beda bahasa, beda suku, dan sebagainya.

Kedua, tidak ada yang salah bila orang mempunyai keyakinan berbeda, terutama dari segi agama, misalnya. Keyakinan beragama bersifat pribadi, pilihan dari individu itu sendiri.

Kita tidak dapat memaksakan orang lain mengenai pilihan atau keyakinannya tersebut. Keyakinan beragama adalah urusan individu dengan Tuhannya.

Ketiga, berikan contoh cara beribadah yang baik menurut agama masing-masing. Misalnya, anak ikut beribadah bersama-sama.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau