KOMPAS.com - Di tengah derasnya arus informasi digital, kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa tantangan baru dalam membedakan mana yang benar dan mana yang manipulatif.
Video hasil rekayasa AI kini mampu meniru wajah, suara, dan gerak tubuh seseorang dengan sangat realistis, sehingga masyarakat seringkali kesulitan membedakan antara fakta dan hoaks.
Fenomena ini memunculkan kebutuhan mendesak akan literasi digital sebagai benteng pertahanan utama masyarakat.
Baca juga: Penggunaan AI di Sekolah, Stephanie Riady Ingatkan Bahayanya bagi Proses Berpikir Anak
Literasi digital bukan hanya soal kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kecakapan berpikir kritis, etika bermedia, serta tanggung jawab sosial dalam menyebarkan informasi.
Keni, Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Tarumanagara (Untar), menegaskan bahwa teknologi, termasuk AI, hanyalah alat.
Namun, yang terpenting adalah bagaimana manusia memanfaatkannya secara bijak.
Menurutnya, para pembuat konten atau content creator memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan setiap karya yang disebarluaskan mengandung nilai, kejujuran, dan tidak menyesatkan publik.
Keni menekankan pentingnya membangun budaya digital yang beretika dan bertanggung jawab di tengah pesatnya perkembangan teknologi AI.
Baca juga: SCH Ingatkan Transformasi Pendidikan Era AI Perlu Siapkan Siswa untuk Pekerjaan yang Belum Ada
Teknologi hanyalah alat, sementara penggunaannya bergantung pada karakter dan kebijaksanaan manusia di baliknya.
“Teknologi itu adalah satu alat, AI itu hanya alat. Tapi bagaimana manusia itu harus menyesuaikan, harus dalam beretika, terutama bagi para content creator,” ujarnya saat acara Pengukuhan Guru Besar Ilmu Manajemen Untar, Kamis (30/10/2025).
Dalam era dimana video hasil rekayasa AI bisa viral dalam hitungan detik, kejujuran dan kredibilitas menjadi benteng utama yang harus dimiliki oleh pembuat konten digital.
“Content creator harus menjaga kredibilitasnya, terutama dalam isi dan etika. Jangan memunculkan sesuatu yang tidak terjadi atau membuat kegaduhan di masyarakat,” tegasnya.
Keni menilai, penyebaran hoaks bukan hanya disebabkan oleh teknologi, melainkan juga oleh lemahnya tanggung jawab moral penggunanya.
Karena itu, pendidikan etika digital perlu ditekankan sejak dini agar generasi muda memahami risiko di balik penyebaran informasi palsu.
Ketiga pilar tersebut berperan penting dalam membentuk preferensi masyarakat terhadap konten di media digital.