KOMPAS.com - Penggunaan teknologi kecerdasan artifisial atau artifisial intelligence (AI) semakin digemari manusia karena mempermudah aktivitas sehari-hari.
Tak terkecuali untuk membantu tugas sekolah dan kegiatan belajar. Kehadiran AI ini namun seperti dua mata pisau.
Direktur Eksekutif Pelita Harapan Group, Stephanie Riady memaparkan bahwa sekolah-sekolah di bawah naungan perusahaannya menerapkan motto tidak menoleransi pihak yang tidak mengerti AI. Dalam kata lain murid kelas 2 SD hingga mahasiswa di universitasnya wajib memahami AI.
Baca juga: DPR Setuju Dana Sitaan Korupsi buat Beasiswa LPDP
Namun sebetulnya Stephanie takut juga AI bisa membunuh kreativitas anak-anak.
"Dari anak-anak muda saya melihat bahwa AI bisa menjadi penghambat perkembangan pemikiran," ungkap Stephanie dalam program Naratama, dikutip dari YouTube Kompascom.
Stephanie berbagi pengalaman semasa sekolah ia terbiasa membaca buku 200 halaman dengan menghabiskan waktu delapan sampai sepuluh jam.
Sedangkan, kata Stephanie, anak-anak era sekarang tinggal mengunggah file buku ke AI ketika ingin merangkum buku dan hasilnya keluar dalam hitungan menit.
Menulis esai pun kini dapat mengandalkan AI.
"Tetapi sayangnya dengan melakukan demikian anak-anak melakukan shortcut terhadap proses-proses yang perlu dilalui untuk mengasah pemikiran," ujar wanita bergelar Doctor of Education in Educational Leadership University of Southern California ini.
Baca juga: UI Masuk 200 Kampus Top Dunia, Prabowo: Kita Dukung agar Tembus 100 Besar
Menurut Stephanie, membaca buku dapat melatih cara berpikir kritis seseorang.
"Contohnya dalam membaca buku tentunya kita mengasah pemikiran untuk mendapat intisari dari sebuah ide. Kita juga mengasah kemampuan untuk berkonsentrasi dan mengerti alur cerita," kata Stephanie.
Membaca buku juga mengasah pemikiran untuk lebih mengerti perspektif-perspektif yang berbeda.
Sebab, masing-masing pembaca akan menerjemahkan isi buku tersebut secara berbeda.
"Kita perlu berpikir kritis untuk mengerti perbedaan-perbedaan," sambungnya.
Ia berpendapat menulis esai secara manual berarti melatih otak untuk bisa membangun struktur pemikiran dan argumen.
Ia khawatir dampak AI membuat otak generasi muda kurang tajam sekarang terlebih ketika memasuki tahap kehidupan kuliah atau dunia kerja.
"Pendidikan itu sesuatu yang harus dilalui. Itu kenapa kita memerlukan pendidikan kelas 1 sampai 12. Mereka perlu melalui proses yang sulit tetapi pada akhirnya otak mereka itu diasah," tuturnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang