Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Adi Talan
Pegawai Negeri Sipil

ASN, Mahasiswa Magister Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran

Dari Teguran ke Laporan Polisi: Krisis Kepercayaan antara Orang Tua dan Guru

Kompas.com - 03/11/2025, 07:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

DULU, ketika seorang murid ditegur di sekolah karena berbuat salah entah karena terlambat, tidak mengerjakan PR, atau membuat gaduh di kelas, kami pulang dengan kepala tertunduk. Bukan karena takut pada guru semata, melainkan karena jika orang tua tahu, hukuman di rumah bisa lebih berat daripada di sekolah.

Saat itu, ada sebuah kesepahaman antara orang tua dan guru, mereka adalah mitra dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Masa itu, wibawa guru begitu terasa. Sorot matanya saja sudah cukup untuk membuat kami bergetar. Kami takut untuk melanggar aturan seperti merokok di area sekolah. Jika pun ada yang berani, itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, khawatir jika ada yang melihat dan melaporkan pada guru.

Rasa takut itu bukanlah teror, tetapi sebuah bentuk hormat yang dalam, dan kesadaran akan adanya batas yang tidak boleh dilanggar. Sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang dimana karakter dan disiplin dibentuk.

Kini, situasi itu berubah drastis. Banyak kasus menunjukkan teguran atau tindakan disiplin dari guru justru berakhir di kantor polisi. Orang tua yang dulu mempercayakan anaknya untuk dibentuk guru, kini justru menjadi pihak pertama yang melaporkan guru ketika anaknya mengadu karena merasa ditegur keras atau diperlakukan kasar oleh guru. Apakah guru masih diperbolehkan mendidik?

Kasus di SMA N 1 Cimarga, menjadi salah satu contoh paling mencolok. Seorang guru kepala sekolah dilaporkan ke polisi setelah menampar muridnya yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Tindakan kepala sekolah bermaksud untuk membentuk karakter muridnya yang tidak disiplin. Sedangkan orang tua dari murid tersebut merasa tidak ikhlas dan tidak terima anaknya ditampar oleh kepala sekolah dan membawanya ke jalur hukum.

Kasus serupa terus berulang di berbagai daerah. Sebelumnya kasus guru Supriyani di Sulawesi Tenggara, sempat dikriminalisasi dan ditahan karena dianggap melakukan kekerasan terhadap murid. Padahal konteksnya adalah penegakan disiplin. Ada pula kasus terbaru, seorang guru SMPN 1 Trenggalek, Eko Prayitno, yang melapor ke Polres Trenggalek setelah menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh seorang keluarga orang tua siswa.

Baca juga: Ketika Disiplin Sekolah Dihadapkan pada Hukum: Menampar atau Mendidik?

Guru: Korban atau Pelaku?

Survei Jaringan Pemantau Pendidikan (JPP) tahun 2024 mencatat bahwa 10,2% guru di Indonesia pernah menjadi korban kekerasan di sekolah, baik secara verbal, sosial, maupun fisik. Menariknya, 43,9% guru juga tercatat sebagai pelaku kekerasan dalam konteks sekolah. Angka-angka ini memperlihatkan bahwa hubungan antara guru, siswa, dan orang tua sedang mengalami krisis kepercayaan, semuanya saling curiga dan saling lapor.

Kita tentu tidak mendukung kekerasan dalam bentuk apa pun di sekolah. Namun kita juga perlu mengakui bahwa pendidikan tidak bisa berjalan tanpa disiplin. Teguran adalah bagian dari proses pembelajaran sosial. Jika setiap teguran dianggap pelanggaran, maka guru kehilangan ruang mendidik. Dalam kondisi ini, guru berada dalam posisi sulit, dituntut menegakkan nilai, tetapi terancam bila menegur.

Tidak sedikit guru honorer yang gajinya jauh dari layak harus menghadapi risiko hukum hanya karena berusaha mendisiplinkan murid. Bila kondisi ini dibiarkan, sekolah akan kehilangan otoritas moralnya, dan pendidikan berubah menjadi arena gugatan, bukan pembelajaran.

Baca juga: Hari Guru Sedunia 2025, Sudah Sejahterakah Guru di Indonesia?

Orang Tua: Pelindung atau Pembelajar?

Fenomena ini menandai pergeseran fundamental dalam pola asuh dan relasi sosial antara rumah, sekolah, dan anak. Orang tua masa kini memang cenderung lebih protektif bahkan tak jarang overprotektif terhadap anak, sehingga sering kali bertindak tanpa mempertimbangkan konteks pendidikan yang lebih luas. Sebagian perubahan ini dipicu oleh transformasi nilai di masyarakat, dimana disiplin kerap disamakan dengan kekerasan, sementara teguran dianggap dapat melukai psikologis anak.

Di sisi lain, media sosial turut memperkuat persepsi tersebut. Satu potongan video atau keluhan yang viral dapat langsung mengundang simpati publik dan menimbulkan tekanan terhadap guru, tanpa memberi ruang yang cukup untuk klarifikasi atau dialog yang mendalam. Akibatnya, ruang pendidikan yang seharusnya menjadi tempat belajar termasuk belajar dari kesalahan, justru berubah menjadi medan ketegangan antara orang tua, guru, dan siswa.

Namun, dibalik fenomena ini tersimpan pertanyaan reflektif, apakah kita telah mengganti pendidikan karakter dengan perlindungan berlebihan? Apakah kita sedang membesarkan generasi yang tangguh, atau justru rapuh karena tak pernah belajar menghadapi konsekuensi?

Ada yang salah dengan ekosistem kita. Orang tua kini lebih sibuk membela anak ketimbang mendidiknya. Guru makin takut menegur karena khawatir viral atau dilaporkan. Akibatnya, sekolah kehilangan wibawa, anak kehilangan batas, dan masyarakat kehilangan teladan.

Baca juga: Nasib Guru di Tengah Gempuran Zaman

Langkah Solutif: Memulihkan Kemitraan Pendidikan

Untuk keluar dari krisis kepercayaan ini, diperlukan upaya kolektif dan sistematis. Langkah pertama adalah memperkuat komunikasi segitiga antara sekolah, orang tua, dan siswa. Sekolah perlu proaktif membangun forum dialog terbuka, bukan hanya saat ada masalah, tetapi sebagai kegiatan rutin untuk menyamakan persepsi tentang tujuan pendidikan dan metode disiplin yang diterapkan. Orang tua harus diajak memahami bahwa teguran guru bukanlah bentuk kebencian, melainkan perhatian untuk membentuk karakter anak.

Transparansi dan ketersediaan mendengar menjadi kunci utama. Langkah kedua adalah menyusun pedoman disiplin yang jelas dan disepakati bersama. Sekolah, dengan melibatkan komite orang tua dan tenaga kependidikan, perlu merumuskan secara tertulis tahapan tindakan disiplin, mulai dari teguran lisan, peringatan tertulis, pemanggilan orang tua, hingga sanksi yang edukatif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau