Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Robby Patria
Dosen

Saya seorang dosen yang saat ini mengajar di UMRAH, Tanjungpinang

Nasib Guru di Tengah Gempuran Zaman

Kompas.com - 16/10/2025, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

SAYA masih ingat betul, saat duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah atas, pernah merasakan tangan guru mendarat di lengan, cubitan, atau bahkan dipukul penggaris panjang berwarna kuning. Saat dihukum, saya tidak pernah melapor kepada orang tua. Bukan takut akan simpati yang tidak saya dapatkan, tapi karena saya tahu, jika melapor, saya justru akan dimarahi, bahkan bisa dihukum ulang di rumah.

Orang tua saya adalah seorang guru dan kepala sekolah. Saya diajarkan untuk tidak menyalahkan guru, apalagi mempertanyakan metode mereka dalam mendidik. Dulu, guru dianggap orang tua kedua. Jika mereka marah atau menghukum, itu karena rasa sayang. Tak terlintas dalam pikiran untuk melibatkan aparat atau lembaga hukum hanya karena dicubit atau ditepuk.

Namun itu dulu. Sekarang, suasananya jauh berbeda. Zaman telah berubah. Jika dulu guru digugu dan ditiru, kini mereka justru mudah diadukan dan dikriminalisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering mendengar kasus guru yang dilaporkan ke polisi karena dianggap melakukan kekerasan terhadap muridnya. Bahkan tempeleng ringan pun bisa berujung pada pencopotan jabatan, hujatan di media sosial, dan tuntutan hukum.

Baca juga: Ketika Disiplin Sekolah Dihadapkan pada Hukum: Menampar atau Mendidik?

Kasus terbaru di Banten menjadi gambaran nyata dari situasi ini. Seorang kepala sekolah menampar murid yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Tindakan yang dilakukan secara spontan itu justru berujung panjang: guru dipolisikan, dijadikan bahan pergunjingan, dan dicap melakukan kekerasan terhadap anak.

Pertanyaannya: apakah kita sudah kehilangan kemampuan untuk membedakan antara tindakan mendidik dan kekerasan?

Guru Tak Lagi Sendiri, Tapi Sunyi

Guru masa kini berada dalam tekanan yang luar biasa. Di satu sisi, mereka dituntut menanamkan nilai karakter, disiplin, sopan santun, dan budi pekerti kepada anak didik. Namun di sisi lain, ruang gerak mereka semakin sempit. Salah sedikit bisa viral. Teguran lisan bisa dianggap pelecehan. Disiplin keras bisa dilabeli kekerasan.

Padahal, di lingkungan sekolah, guru bukan hanya pengajar. Mereka adalah pendidik yang mengambil alih sebagian tugas orang tua selama anak berada di sekolah. Mereka bukan robot penghafal kurikulum, tapi pembentuk karakter. Bagaimana guru bisa membentuk karakter jika cara-cara mendidik yang tegas, bahkan sekadar menegur keras, dianggap sebagai pelanggaran? Apakah pendidikan hanya soal nilai akademik semata?

Zaman dulu, orang tua dan guru berjalan beriringan dalam satu visi: mendidik anak menjadi manusia yang baik. Sekolah dipercaya penuh. Kalau anak dihukum guru, orang tua menanyakan kesalahan anak, bukan menyalahkan guru. Kini, ketika anak dihukum atau ditegur, sebagian orang tua langsung bereaksi defensif. Guru disalahkan, direkam diam-diam, dilaporkan ke media sosial, dan bahkan ke polisi.

Sekolah kehilangan perannya sebagai lembaga pembentuk karakter, karena setiap langkahnya diawasi laksana berada di ruang sidang. Padahal, mendidik anak bukan hanya tugas guru. Jika anak melakukan kesalahan di sekolah dan tidak boleh ditegur, lebih baik orang tua mendidik sendiri anaknya di rumah. Home schooling adalah pilihan sah secara hukum di Indonesia.

Namun jika telah menitipkan anak ke sekolah, artinya ada kepercayaan yang diberikan kepada para guru. Jangan rusak kepercayaan itu dengan sikap anti-kritik dan menyalahkan.

Baca juga: Disiplin dalam Kontroversi: Menuju Generasi Cemas

Mendidik Bukan Menganiaya

Penting untuk menekankan bahwa mendukung guru bukan berarti membenarkan kekerasan. Tidak ada tempat untuk kekerasan dalam dunia pendidikan. Guru yang menyakiti fisik atau mental siswa hingga luka serius, trauma, atau bahkan cacat, harus ditindak.

Namun, tidak semua bentuk disiplin adalah kekerasan. Tempeleng ringan sebagai bentuk teguran keras bukanlah kekerasan jika dilakukan tanpa niat menyakiti, tapi sebagai bentuk spontanitas emosi seorang pendidik yang kecewa. Tentu tetap harus ada kontrol diri. Tapi publik juga harus proporsional dalam menilai: membedakan mana teguran keras karena cinta, dan mana kekerasan yang tak bisa ditoleransi.

Lihatlah negara-negara maju seperti Finlandia, Denmark, atau Jepang. Di sana, guru ditempatkan pada posisi sosial yang tinggi. Bahkan di Finlandia, untuk menjadi guru, hanya lulusan terbaik dari universitas ternama yang bisa lolos. Profesi guru dihormati, dihargai, dan dibayar mahal. Gajinya bisa melampaui anggota parlemen.

Mengapa? Karena mereka sadar, membangun bangsa dimulai dari pendidikan. Dan pendidikan yang baik hanya bisa terwujud jika kita memiliki guru-guru yang hebat, yang dihargai secara moral dan materi. Jika bangsa ingin maju, perbaikilah nasib gurunya terlebih dahulu.

Bandingkan dengan Indonesia. Gaji guru dan dosen masih rendah. Status mereka kerap dipandang sebelah mata. Ketika terjadi konflik dengan siswa atau orang tua, guru sering kali dibiarkan berjuang sendiri. Organisasi profesi pun kadang bungkam. Tak ada pembelaan yang kuat.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau