Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Darmawan
Dosen

Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED

Trump 2.0 dan Transformasi Global: Era Baru Diplomasi Transaksional

Kompas.com - 29/01/2025, 14:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAYANGKAN sebuah meja poker global, di mana kartu-kartu diplomatik tidak lagi dimainkan dengan protokol tradisional.

Di sinilah kita mungkin akan menemukan diri kita pada 2025, ketika Donald Trump mengucapkan sumpah sebagai Presiden ke-47 Amerika Serikat.

Pidato pelantikannya memberikan sinyal jelas: diplomasi dunia akan memasuki era baru di mana setiap kesepakatan internasional diperlakukan seperti transaksi bisnis.

The Art of the Deal tidak lagi sekadar judul buku—ini akan menjadi blueprint baru hubungan internasional.

Dalam era ini, diplomasi mungkin tidak lagi tentang membangun hubungan jangka panjang berdasarkan kepercayaan, tetapi lebih menonjol tentang "apa yang bisa saya dapatkan hari ini?"

Diplomasi transaksional: Mengubah aturan main global

Pergeseran mendasar mungkin akan terjadi dalam cara negara-negara berinteraksi. Jika diplomasi tradisional mengandalkan goodwill dan kepercayaan jangka panjang, era Trump 2.0 kemungkinan akan membawa dunia ke model "quid pro quo" yang lebih eksplisit.

Setiap kesepakatan bilateral akan dinegosiasikan ulang dengan pendekatan "what's in it for us?"—mengubah fundamental hubungan internasional yang telah terbangun selama dekade.

Baca juga: Indonesia dalam BRICS: Antara Harapan Pembebasan dan Jebakan Ketergantungan Baru

Diplomasi transaksional ini akan menciptakan dinamika baru di mana setiap negara harus menghitung nilai konkret dari setiap interaksi, baik itu dalam bentuk akses pasar, bantuan militer, atau dukungan politik.

Henry Kissinger, dalam bukunya “Diplomacy” (1994), pernah memperingatkan tentang bahaya mengabaikan aspek historis dan kultural dalam hubungan internasional.

Namun, model Trump justru mungkin akan mendorong dunia ke arah yang berlawanan—di mana nilai tukar ekonomi dan strategic leverage menjadi mata uang utama diplomasi global.

Dalam konteks ini, negara-negara yang selama ini mengandalkan hubungan historis atau nilai-nilai bersama mungkin akan menemukan diri mereka dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Diplomasi transaksional akan menuntut setiap negara untuk lebih pragmatis dan siap mengevaluasi ulang setiap kesepakatan dengan kalkulasi yang lebih ketat.

NATO mungkin akan menjadi contoh pertama transformasi ini. Aliansi pertahanan terkuat dalam sejarah ini kemungkinan akan menghadapi restrukturisasi fundamental, di mana kontribusi finansial menjadi penentu utama level perlindungan yang diterima.

Baca juga: Meneropong Peran Amerika Serikat di Suriah Pasca-Assad

Negara-negara Eropa mungkin akan dipaksa memilih: membayar lebih untuk jaminan keamanan Amerika Serikat, atau mengembangkan kapabilitas pertahanan independen mereka.

Ini akan menciptakan dilema besar bagi negara-negara seperti Jerman dan Perancis, yang selama ini mengandalkan perlindungan AS, tetapi juga memiliki ambisi untuk membangun kekuatan militer Eropa yang lebih mandiri.

Di Asia Pasifik, aliansi tradisional AS seperti dengan Jepang dan Korea Selatan mungkin akan menghadapi negosiasi ulang yang lebih transaksional.

Biaya perlindungan militer AS kemungkinan akan dinaikkan secara signifikan, mendorong kedua negara untuk mempertimbangkan opsi pertahanan alternatif.

Indonesia dan negara-negara ASEAN mungkin akan menyaksikan bagaimana harga "perlindungan" keamanan regional mulai dipatok dalam angka dollar.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau