PERANG Iran-Israel yang pecah pada 13 Juni 2025, baru memasuki hari ke sepuluh. Melalui media cetak dan digital, dunia saat itu masih menyaksikan kedua belah pihak saling tukar tembakan rudal untuk menghancurkan sasaran di wilayah musuh.
Tiba-tiba saja pada 22 Juni, dunia dikagetkan oleh breaking news: Amerika Serikat melancarkan serangan ke Iran dengan 125 pesawat militer, termasuk tujuh pesawat pengebom siluman B-2. Targetnya: tiga instalasi nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan.
Karuan saja aksi kejutan AS ini memantik spekulasi liar terhadap ramifikasi perang Vs Iran-Israel di tataran regional maupun global.
Presiden AS Donald Trump dengan percaya diri mengumumkan, serangan ke pusat nuklir Iran merupakan sukses besar dan momen historik bagi Amerika Serikat, Israel dan dunia.
Baca juga: Pintu Masuk Situs Nuklir dan Klaim Kemenangan Perang
Sebagai reaksi, Iran melancarkan serangan terhadap pangkalan Udara Al Udeid yang merupakan basis pasukan AS di Qatar pada Senin, 23 Juni 2025.
Pada hari yang sama, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menemui Presiden Rusia Vladimir Putin. Hasilnya: Putin menyatakan serangan AS ke Iran adalah agresi yang tidak beralasan dan Rusia akan membantu Iran dalam perang menghadapi Israel dan AS.
Pernyataan Rusia ini penting, karena bisa saja mengubah lanskap peperangan di kawasan Timur Tengah.
Bila perluasan perang tak bisa dihindari, maka ia akan membuka babak baru ketegangan geopolitik kawasan dan dunia.
Betapa tidak, sebelum ini dunia masih menghadapi reperkusi politik perang Rusia-Ukraina. Dan di belahan timur bola dunia, rivalitas China dan AS semakin mengeras.
Dengan situasi politik global demikian, keterlibatan langsung Rusia dalam konflik Timur Tengah bukan hanya memperuncing kekerasan regional, tetapi juga menghidupkan kembali atmosfer perang proxy yang multipolar dan jauh lebih kompleks dibanding era Perang Dingin.
Menarik untuk mengajukan tanya: mengapa Rusia - yang saat ini masih disibukkan oleh perang dengan Ukraina – mau membantu Iran dalam menghadapi Israel-AS?
Sikap Rusia tersebut tidak bisa dilepaskan dari hubungan strategis Moskwa-Teheran yang selama dekade terakhir semakin erat.
Rusia dan Iran berada dalam satu barisan ketika menangani perang di Suriah. Dunia tahu, dalam konteks perang Suriah, Rusia merasa kehilangan muka manakala presiden dukungannya, Bashar al-Assad, digulingkan kubu oposisi yang dimotori Hayat Tahrir al-Sham.
Baca juga: Perang Iran-Israel: Mengapa Tiba-tiba Gencatan Senjata?
Menurut pakar geopolitik dari Harvard Kennedy School, Stephen Walt, “Rusia tengah berusaha menegosiasikan kembali posisinya dalam sistem internasional yang didominasi AS, dan Timur Tengah menjadi panggung penting dalam strategi itu.”
Dalam perspektif ini, upaya Rusia mendukung Iran dalam perang Iran-Israel bisa dibaca sebagai manuver geopolitik untuk mengimbangi pengaruh aliansi Barat (AS dan NATO) di kawasan Arab Timur Tengah.