Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satelit Tangkap Awan Raksasa Debu Sahara Menyeberangi Atlantik

Kompas.com - 09/06/2025, 10:14 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Earth.com

KOMPAS.com - Pada tanggal 7 Mei 2025, langit Atlantik menjadi panggung dari sebuah fenomena alam luar biasa. Satelit milik Uni Eropa menangkap gambar menakjubkan: awan debu raksasa dari Gurun Sahara melayang dan membentang sejauh ribuan kilometer melintasi Samudra Atlantik.

Menurut data satelit Copernicus Sentinel-3, awan ini tampak sebagai gumpalan tebal berwarna jingga pekat, menutupi area seluas lebih dari 150.000 kilometer persegi. Pulau-pulau kecil di Cabo Verde nyaris tak terlihat, hanya sedikit mengintip di sudut kiri gambar.

“Sentinel-5P adalah alat penting untuk memantau polusi udara,” ungkap para ilmuwan dari European Space Agency (ESA).

Dengan bantuan satelit Sentinel-5P, ilmuwan mendapatkan detail lebih dalam. Satelit ini mengukur tingkat aerosol di dalam awan debu menggunakan instrumen canggih bernama Tropomi. Warna jingga yang lebih gelap menunjukkan konsentrasi debu yang lebih tinggi — menjadi indikator kekuatan badai debu tersebut.

Baca juga: Gurun Sahara Pernah Jadi Tempat Subur, Bagaimana Itu Bisa Terjadi?

Bagaimana Debu Sahara Bisa Terbang Sejauh Ini?

Fenomena badai debu Sahara bukan hal baru. Gurun ini terkenal dengan kombinasi cuaca panas ekstrem, udara kering, dan pasir yang sangat longgar. Saat angin permukaan yang kencang bertiup, debu dan pasir halus mudah terangkat dari tanah.

Namun yang membuatnya luar biasa adalah ketika partikel debu ini terdorong sangat tinggi ke atmosfer. Di ketinggian, debu terbawa oleh aliran angin cepat — seperti jet stream atau trade winds — yang membawa mereka hingga melintasi benua dan lautan.

Inilah yang disebut dengan Saharan Air Layer, massa udara kering dan berdebu yang biasanya terbentuk antara akhir musim semi hingga awal musim gugur. Dalam beberapa kasus, badai debu ini bisa bertahan selama berminggu-minggu di atmosfer, menjangkau wilayah sejauh Amerika Selatan dan Karibia.

Baca juga: Apakah Gurun Sahara Bisa Menghijau Lagi Seperti Ribuan Tahun Lalu?

Dampaknya terhadap Kesehatan dan Lingkungan

Ketika debu mencapai daratan, kualitas udara pun menurun drastis. Partikel halus menggantung di udara, menciptakan kabut tebal dan mengurangi jarak pandang. Tidak heran jika stasiun cuaca setempat sering kali mengeluarkan peringatan kesehatan.

Bahaya utama adalah bagi pernapasan manusia. Debu dapat memicu serangan asma, mengiritasi paru-paru, dan memperburuk kondisi jantung. Bahkan mereka yang tinggal ribuan kilometer dari Sahara bisa merasakan dampaknya.

Namun, badai debu ini bukan hanya membawa ancaman.

“Debu Sahara kaya akan mineral seperti fosfor dan zat besi, yang berperan penting dalam ekosistem,” jelas para peneliti.

Baca juga: Apa Itu Mata Sahara, Fenomena Pusaran Raksasa di Barat Laut Afrika?

Debu Sahara: Pupuk Alami untuk Samudra dan Hutan Amazon

Yang menarik, debu Sahara mengandung nutrien penting. Saat partikel-partikel ini jatuh ke laut, mereka menjadi “pupuk alami” bagi fitoplankton — mikroorganisme dasar rantai makanan laut. Fitoplankton menyerap nutrien tersebut dan berkembang, menyediakan makanan bagi ikan, paus, dan makhluk laut lainnya.

Beberapa partikel bahkan menempuh perjalanan lebih jauh hingga mencapai hutan hujan Amazon. Di sanalah mereka menyuburkan tanah, menggantikan nutrisi yang terkikis oleh hujan tropis. Amazon, meski jauh dari Afrika, ternyata sangat bergantung pada pasokan mineral dari gurun Sahara.

Baca juga: Fakta-fakta Gurun Sahara, Tidak Hanya Dihuni Unta

Peran Satelit dalam Prediksi dan Perlindungan

Dengan teknologi satelit seperti Sentinel-3 dan Sentinel-5P, ilmuwan kini mampu memantau dan memprediksi arah gerakan awan debu secara real-time. Informasi ini penting untuk:

  • Memperkirakan kapan debu akan mencapai wilayah tertentu
  • Menentukan tingkat konsentrasinya
  • Menginformasikan kapan udara akan kembali bersih

Layanan seperti Copernicus Atmosphere Monitoring Service menggunakan data ini untuk memperbarui prakiraan harian kualitas udara dan menyusun strategi peringatan dini bagi masyarakat.

Baca juga: Mengapa Gurun Sahara Sangat Dingin di Malam Hari?

Menghubungkan Dunia Lewat Debu

Badai debu Sahara adalah pengingat bahwa cuaca dan iklim tidak mengenal batas negara. Mereka menghubungkan Afrika, Atlantik, dan Amerika dalam satu sistem alami yang rumit namun saling bergantung.

Meski sekilas tampak mengganggu, awan debu ini adalah bagian penting dari siklus ekologi global — dari memperburuk kualitas udara hingga menyuburkan lautan dan hutan tropis. Semua berkat mata tajam satelit yang terus memantau dari angkasa.

Baca juga: Awan Debu Raksasa dari Sahara Bergerak ke AS, Ini Dampaknya

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Ilmuwan Temukan Spesies Baru Laba-Laba Seram yang Bersembunyi di California
Ilmuwan Temukan Spesies Baru Laba-Laba Seram yang Bersembunyi di California
Oh Begitu
Bukan Hiu Putih, Studi Stanford Ungkap Spesies Hiu yang Rentan Punah Akibat Manusia
Bukan Hiu Putih, Studi Stanford Ungkap Spesies Hiu yang Rentan Punah Akibat Manusia
Oh Begitu
10 Fenomena Langit November 2025: Dari Hujan Meteor hingga Supermoon
10 Fenomena Langit November 2025: Dari Hujan Meteor hingga Supermoon
Fenomena
Krayon Oker Berusia 42.000 Tahun Ditemukan di Ukraina, Bukti Neanderthal Berjiwa Seni
Krayon Oker Berusia 42.000 Tahun Ditemukan di Ukraina, Bukti Neanderthal Berjiwa Seni
Oh Begitu
Chupacabra, Monster Mitos yang Tercipta Karena Evolusi dan Penyakit
Chupacabra, Monster Mitos yang Tercipta Karena Evolusi dan Penyakit
Oh Begitu
Wahana Juice yang Menuju Jupiter Ambil Risiko Pengamatan Komet 3I/ATLAS
Wahana Juice yang Menuju Jupiter Ambil Risiko Pengamatan Komet 3I/ATLAS
Oh Begitu
Ada Supermoon 5 November, BMKG: Waspada Banjir Rob di Pesisir Indonesia
Ada Supermoon 5 November, BMKG: Waspada Banjir Rob di Pesisir Indonesia
Fenomena
Supermoon Beaver 5 November Jadi Bulan Purnama Paling Dekat Bumi Sejak 2019
Supermoon Beaver 5 November Jadi Bulan Purnama Paling Dekat Bumi Sejak 2019
Fenomena
Penampakan Jika Seluruh Es Antartika Mencair, Ada Jurang dan Pegunungan
Penampakan Jika Seluruh Es Antartika Mencair, Ada Jurang dan Pegunungan
Oh Begitu
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
Fenomena
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Fenomena
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Oh Begitu
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Fenomena
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Oh Begitu
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Oh Begitu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau