KOMPAS.com - Pada tanggal 7 Mei 2025, langit Atlantik menjadi panggung dari sebuah fenomena alam luar biasa. Satelit milik Uni Eropa menangkap gambar menakjubkan: awan debu raksasa dari Gurun Sahara melayang dan membentang sejauh ribuan kilometer melintasi Samudra Atlantik.
Menurut data satelit Copernicus Sentinel-3, awan ini tampak sebagai gumpalan tebal berwarna jingga pekat, menutupi area seluas lebih dari 150.000 kilometer persegi. Pulau-pulau kecil di Cabo Verde nyaris tak terlihat, hanya sedikit mengintip di sudut kiri gambar.
“Sentinel-5P adalah alat penting untuk memantau polusi udara,” ungkap para ilmuwan dari European Space Agency (ESA).
Dengan bantuan satelit Sentinel-5P, ilmuwan mendapatkan detail lebih dalam. Satelit ini mengukur tingkat aerosol di dalam awan debu menggunakan instrumen canggih bernama Tropomi. Warna jingga yang lebih gelap menunjukkan konsentrasi debu yang lebih tinggi — menjadi indikator kekuatan badai debu tersebut.
Baca juga: Gurun Sahara Pernah Jadi Tempat Subur, Bagaimana Itu Bisa Terjadi?
Fenomena badai debu Sahara bukan hal baru. Gurun ini terkenal dengan kombinasi cuaca panas ekstrem, udara kering, dan pasir yang sangat longgar. Saat angin permukaan yang kencang bertiup, debu dan pasir halus mudah terangkat dari tanah.
Namun yang membuatnya luar biasa adalah ketika partikel debu ini terdorong sangat tinggi ke atmosfer. Di ketinggian, debu terbawa oleh aliran angin cepat — seperti jet stream atau trade winds — yang membawa mereka hingga melintasi benua dan lautan.
Inilah yang disebut dengan Saharan Air Layer, massa udara kering dan berdebu yang biasanya terbentuk antara akhir musim semi hingga awal musim gugur. Dalam beberapa kasus, badai debu ini bisa bertahan selama berminggu-minggu di atmosfer, menjangkau wilayah sejauh Amerika Selatan dan Karibia.
Baca juga: Apakah Gurun Sahara Bisa Menghijau Lagi Seperti Ribuan Tahun Lalu?
Ketika debu mencapai daratan, kualitas udara pun menurun drastis. Partikel halus menggantung di udara, menciptakan kabut tebal dan mengurangi jarak pandang. Tidak heran jika stasiun cuaca setempat sering kali mengeluarkan peringatan kesehatan.
Bahaya utama adalah bagi pernapasan manusia. Debu dapat memicu serangan asma, mengiritasi paru-paru, dan memperburuk kondisi jantung. Bahkan mereka yang tinggal ribuan kilometer dari Sahara bisa merasakan dampaknya.
Namun, badai debu ini bukan hanya membawa ancaman.
“Debu Sahara kaya akan mineral seperti fosfor dan zat besi, yang berperan penting dalam ekosistem,” jelas para peneliti.
Baca juga: Apa Itu Mata Sahara, Fenomena Pusaran Raksasa di Barat Laut Afrika?
Yang menarik, debu Sahara mengandung nutrien penting. Saat partikel-partikel ini jatuh ke laut, mereka menjadi “pupuk alami” bagi fitoplankton — mikroorganisme dasar rantai makanan laut. Fitoplankton menyerap nutrien tersebut dan berkembang, menyediakan makanan bagi ikan, paus, dan makhluk laut lainnya.
Beberapa partikel bahkan menempuh perjalanan lebih jauh hingga mencapai hutan hujan Amazon. Di sanalah mereka menyuburkan tanah, menggantikan nutrisi yang terkikis oleh hujan tropis. Amazon, meski jauh dari Afrika, ternyata sangat bergantung pada pasokan mineral dari gurun Sahara.
Baca juga: Fakta-fakta Gurun Sahara, Tidak Hanya Dihuni Unta
Peran Satelit dalam Prediksi dan Perlindungan
Dengan teknologi satelit seperti Sentinel-3 dan Sentinel-5P, ilmuwan kini mampu memantau dan memprediksi arah gerakan awan debu secara real-time. Informasi ini penting untuk:
Layanan seperti Copernicus Atmosphere Monitoring Service menggunakan data ini untuk memperbarui prakiraan harian kualitas udara dan menyusun strategi peringatan dini bagi masyarakat.
Baca juga: Mengapa Gurun Sahara Sangat Dingin di Malam Hari?
Badai debu Sahara adalah pengingat bahwa cuaca dan iklim tidak mengenal batas negara. Mereka menghubungkan Afrika, Atlantik, dan Amerika dalam satu sistem alami yang rumit namun saling bergantung.
Meski sekilas tampak mengganggu, awan debu ini adalah bagian penting dari siklus ekologi global — dari memperburuk kualitas udara hingga menyuburkan lautan dan hutan tropis. Semua berkat mata tajam satelit yang terus memantau dari angkasa.
Baca juga: Awan Debu Raksasa dari Sahara Bergerak ke AS, Ini Dampaknya
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang