Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Berhasil Mengembalikan Suara Jangkrik yang Telah Punah

Kompas.com - 02/08/2025, 07:26 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Earth.com

KOMPAS.com - Suara-suara dari dunia hewan selalu memikat perhatian para ilmuwan. Mulai dari kicauan burung hingga nyanyian paus, bunyi-bunyian ini menjadi alat komunikasi penting—untuk menarik pasangan, memperingatkan bahaya, atau menandai wilayah kekuasaan. Namun, berbeda dari manusia dan sebagian besar mamalia yang menggunakan pita suara, jangkrik memiliki cara unik dalam "bernyanyi".

Jangkrik menciptakan suara khas mereka bukan dari mulut, melainkan lewat getaran halus pada sayap depan yang keras dan bertekstur seperti kulit. Mekanisme ini telah lama menjadi teka-teki, terutama ketika menyangkut spesies yang telah punah. Bagaimana bisa kita tahu seperti apa suara jangkrik jutaan tahun lalu jika pita suara dan jaringan lunak tidak bisa terawetkan dalam fosil?

Baca juga: Ketika Jangkrik Jantan Tak Lagi Bernyanyi, Apa yang Dilakukan Betina?

Rekonstruksi Suara Jangkrik

Kini, para peneliti dari Western University, Kanada, telah mengembangkan metode revolusioner untuk merekonstruksi lagu jangkrik secara akurat—bahkan dari spesimen yang sudah diawetkan sejak lama.

Penelitian yang dipimpin oleh Prof. Natasha Mhatre, seorang ahli neurobiologi invertebrata, ini menggabungkan pengukuran detail pada sayap jangkrik dengan teknik pemodelan komputer canggih yang disebut Finite Element Modelling (FEM). Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Open Science.

“Setiap sayap jangkrik memiliki pola pembuluh (urat) yang unik dan sangat menentukan frekuensi lagu yang dihasilkan,” ujar Mhatre. “Sebagian urat menghasilkan gaya yang menyebabkan sayap bergetar, sementara yang lain memperkuat struktur sayap agar bisa menghasilkan resonansi di frekuensi tertentu.”

Baca juga: 6 Fakta Jangkrik, Mengeluarkan Suara dari Sayap hingga Simbol Keberuntungan

Kunci: Sayap dan Pembuluhnya

Sayap depan jangkrik terdiri dari jaringan pembuluh yang menjadi ‘alat musik’ alami. Getaran kecil di area tertentu akan diperkuat oleh struktur sayap, menciptakan suara yang khas dan bisa terdengar jauh.

Model komputer baru ini tidak lagi mengasumsikan area pembuluh sebagai bagian yang kaku atau tidak bergerak—kesalahan umum dalam studi sebelumnya. Sebaliknya, model ini hanya "menjepit" sayap pada bagian pangkal, meniru kondisi alaminya saat jangkrik bergerak.

Pendekatan ini menghasilkan prediksi pola getaran yang jauh lebih akurat—bahkan untuk jenis sayap yang tidak digunakan saat model pertama kali dibuat.

Baca juga: Mengapa Jangkrik Bersuara Keras di Malam Hari?

Specimen Mati Jadi Sumber Lagu

Salah satu hal paling menarik dari studi ini adalah bahwa spesimen jangkrik yang telah diawetkan—bahkan yang sudah kering—masih bisa digunakan untuk merekonstruksi suara. Sayap kering memang menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi karena jaringan yang mengeras, namun setelah diberi kelembaban kembali (rehidrasi), frekuensinya kembali mendekati kondisi hidup.

Penemuan ini membuka kemungkinan besar: suara jangkrik yang telah punah bisa dihidupkan kembali dengan mempelajari sayap mereka yang tersisa di museum.

Pola pembuluh pada sayap jangkrik ditentukan secara genetik, dan perubahan kecil saja bisa mengubah frekuensi suara. Dengan memodelkan resonansi ini secara digital, para ilmuwan bisa menelusuri jejak evolusi komunikasi serangga dari waktu ke waktu.

Bahkan spesimen fosil dua dimensi pun kini bisa dianalisis untuk menafsirkan jenis suara yang mungkin pernah mereka hasilkan. Bagi dunia biologi evolusioner, ini adalah kabar besar.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Jangkrik, Hewan yang Bersuara Nyaring di Malam Hari

Masa Depan Penelitian Akustik Serangga

Penelitian ini dimulai saat pandemi COVID-19 dan melibatkan kolaborator dari University of St. Andrews, termasuk Nathan Bailey, serta tiga mantan mahasiswa sarjana—Sarah Duke, Ryan Weiner, dan Gabriella Simonelli.

Metode baru ini bisa menjadi fondasi bagi studi berskala besar tentang keragaman lagu jangkrik dan bagaimana bentuk sayap memengaruhi spesiasi dan komunikasi dalam dunia serangga.

“Dengan menggabungkan pemodelan komputasi dan spesimen yang diawetkan, kami kini memiliki cara yang lebih andal untuk merekonstruksi fungsi akustik jangkrik dari morfologi mereka,” tutup Mhatre.

Baca juga: Jangkrik Jantan Bernyanyi di Malam Hari demi Menarik Perhatian Betina untuk Kawin

 

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini



Terkini Lainnya
Kenapa Alam Semesta Ada? Rahasia Pertarungan Materi dan Antimateri
Kenapa Alam Semesta Ada? Rahasia Pertarungan Materi dan Antimateri
Oh Begitu
Paphiopedilum Memoria Jakob Oetama: Anggrek Hibrida Nusantara untuk Mengenang Perintis Kompas Gramedia
Paphiopedilum Memoria Jakob Oetama: Anggrek Hibrida Nusantara untuk Mengenang Perintis Kompas Gramedia
Oh Begitu
Patung Singa Bersayap di Venesia Mungkin Berasal dari Dinasti Tang, Cina
Patung Singa Bersayap di Venesia Mungkin Berasal dari Dinasti Tang, Cina
Oh Begitu
Jejak Meteorit 1 Miliar Tahun Lalu: Awal Kehidupan Kompleks Daratan?
Jejak Meteorit 1 Miliar Tahun Lalu: Awal Kehidupan Kompleks Daratan?
Oh Begitu
Gerhana Matahari Parsial September 2025: Di Mana, Kapan, dan Bagaimana Menyaksikannya
Gerhana Matahari Parsial September 2025: Di Mana, Kapan, dan Bagaimana Menyaksikannya
Fenomena
Dua Anjing Pelacak Temukan Jejak Badak Sumatra yang Diduga Hilang
Dua Anjing Pelacak Temukan Jejak Badak Sumatra yang Diduga Hilang
Oh Begitu
JWST Temukan Jejak Galaksi Paling Murni di Alam Semesta?
JWST Temukan Jejak Galaksi Paling Murni di Alam Semesta?
Oh Begitu
Jangan Keliru! Ini Perbedaan Lintah dan Siput Tanpa Cangkang
Jangan Keliru! Ini Perbedaan Lintah dan Siput Tanpa Cangkang
Oh Begitu
Mengungkap Kisah Cinta di Zaman Purba, Bagaimana Dinosaurus Kawin?
Mengungkap Kisah Cinta di Zaman Purba, Bagaimana Dinosaurus Kawin?
Oh Begitu
Situs Permukiman Samaria Berusia 1.600 Tahun Ditemukan di Israel
Situs Permukiman Samaria Berusia 1.600 Tahun Ditemukan di Israel
Oh Begitu
Fenomena Bulan Merah Darah Akan Terjadi 7–8 September 2025
Fenomena Bulan Merah Darah Akan Terjadi 7–8 September 2025
Fenomena
Fosil Dinosaurus “Berkepala Dua” Masih Menjadi Misteri Evolusi
Fosil Dinosaurus “Berkepala Dua” Masih Menjadi Misteri Evolusi
Oh Begitu
Fenomena Langit Merah: Penjelasan Ilmiah di Balik Video Viral ‘Matahari Jatuh’
Fenomena Langit Merah: Penjelasan Ilmiah di Balik Video Viral ‘Matahari Jatuh’
Oh Begitu
Misteri Partikel Tercepat Matahari Akhirnya Terpecahkan
Misteri Partikel Tercepat Matahari Akhirnya Terpecahkan
Oh Begitu
Spons Lemak dari Teh Hijau Jadi Harapan Baru Mengecilkan Perut
Spons Lemak dari Teh Hijau Jadi Harapan Baru Mengecilkan Perut
Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau