KOMPAS.com - Suara-suara dari dunia hewan selalu memikat perhatian para ilmuwan. Mulai dari kicauan burung hingga nyanyian paus, bunyi-bunyian ini menjadi alat komunikasi penting—untuk menarik pasangan, memperingatkan bahaya, atau menandai wilayah kekuasaan. Namun, berbeda dari manusia dan sebagian besar mamalia yang menggunakan pita suara, jangkrik memiliki cara unik dalam "bernyanyi".
Jangkrik menciptakan suara khas mereka bukan dari mulut, melainkan lewat getaran halus pada sayap depan yang keras dan bertekstur seperti kulit. Mekanisme ini telah lama menjadi teka-teki, terutama ketika menyangkut spesies yang telah punah. Bagaimana bisa kita tahu seperti apa suara jangkrik jutaan tahun lalu jika pita suara dan jaringan lunak tidak bisa terawetkan dalam fosil?
Baca juga: Ketika Jangkrik Jantan Tak Lagi Bernyanyi, Apa yang Dilakukan Betina?
Kini, para peneliti dari Western University, Kanada, telah mengembangkan metode revolusioner untuk merekonstruksi lagu jangkrik secara akurat—bahkan dari spesimen yang sudah diawetkan sejak lama.
Penelitian yang dipimpin oleh Prof. Natasha Mhatre, seorang ahli neurobiologi invertebrata, ini menggabungkan pengukuran detail pada sayap jangkrik dengan teknik pemodelan komputer canggih yang disebut Finite Element Modelling (FEM). Hasilnya dipublikasikan dalam jurnal Royal Society Open Science.
“Setiap sayap jangkrik memiliki pola pembuluh (urat) yang unik dan sangat menentukan frekuensi lagu yang dihasilkan,” ujar Mhatre. “Sebagian urat menghasilkan gaya yang menyebabkan sayap bergetar, sementara yang lain memperkuat struktur sayap agar bisa menghasilkan resonansi di frekuensi tertentu.”
Baca juga: 6 Fakta Jangkrik, Mengeluarkan Suara dari Sayap hingga Simbol Keberuntungan
Sayap depan jangkrik terdiri dari jaringan pembuluh yang menjadi ‘alat musik’ alami. Getaran kecil di area tertentu akan diperkuat oleh struktur sayap, menciptakan suara yang khas dan bisa terdengar jauh.
Model komputer baru ini tidak lagi mengasumsikan area pembuluh sebagai bagian yang kaku atau tidak bergerak—kesalahan umum dalam studi sebelumnya. Sebaliknya, model ini hanya "menjepit" sayap pada bagian pangkal, meniru kondisi alaminya saat jangkrik bergerak.
Pendekatan ini menghasilkan prediksi pola getaran yang jauh lebih akurat—bahkan untuk jenis sayap yang tidak digunakan saat model pertama kali dibuat.
Baca juga: Mengapa Jangkrik Bersuara Keras di Malam Hari?
Salah satu hal paling menarik dari studi ini adalah bahwa spesimen jangkrik yang telah diawetkan—bahkan yang sudah kering—masih bisa digunakan untuk merekonstruksi suara. Sayap kering memang menunjukkan frekuensi yang lebih tinggi karena jaringan yang mengeras, namun setelah diberi kelembaban kembali (rehidrasi), frekuensinya kembali mendekati kondisi hidup.
Penemuan ini membuka kemungkinan besar: suara jangkrik yang telah punah bisa dihidupkan kembali dengan mempelajari sayap mereka yang tersisa di museum.
Pola pembuluh pada sayap jangkrik ditentukan secara genetik, dan perubahan kecil saja bisa mengubah frekuensi suara. Dengan memodelkan resonansi ini secara digital, para ilmuwan bisa menelusuri jejak evolusi komunikasi serangga dari waktu ke waktu.
Bahkan spesimen fosil dua dimensi pun kini bisa dianalisis untuk menafsirkan jenis suara yang mungkin pernah mereka hasilkan. Bagi dunia biologi evolusioner, ini adalah kabar besar.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Jangkrik, Hewan yang Bersuara Nyaring di Malam Hari
Penelitian ini dimulai saat pandemi COVID-19 dan melibatkan kolaborator dari University of St. Andrews, termasuk Nathan Bailey, serta tiga mantan mahasiswa sarjana—Sarah Duke, Ryan Weiner, dan Gabriella Simonelli.
Metode baru ini bisa menjadi fondasi bagi studi berskala besar tentang keragaman lagu jangkrik dan bagaimana bentuk sayap memengaruhi spesiasi dan komunikasi dalam dunia serangga.
“Dengan menggabungkan pemodelan komputasi dan spesimen yang diawetkan, kami kini memiliki cara yang lebih andal untuk merekonstruksi fungsi akustik jangkrik dari morfologi mereka,” tutup Mhatre.
Baca juga: Jangkrik Jantan Bernyanyi di Malam Hari demi Menarik Perhatian Betina untuk Kawin
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini