Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Ungkap Cara Emas Muncul dari Kedalaman Bumi ke Permukaan

Kompas.com - 21/08/2025, 08:48 WIB
Wisnubrata

Penulis

Sumber Earth.com

KOMPAS.com - Emas ternyata tidak serta-merta hadir di permukaan Bumi dalam bentuk bongkahan siap dipungut. Faktanya, sebagian besar emas justru terjebak jauh di dalam lapisan mantel Bumi, tepat di antara kerak yang kita pijak dan inti planet yang membara. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana emas bisa “kabur” dari kedalaman itu hingga akhirnya terbentuk dalam deposit yang bisa ditambang?

Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences berhasil mengungkap potongan penting dari teka-teki ini.

Baca juga: Letusan Gunung Api Bisa Membawa Emas dari Inti Bumi

Emas dan “Dapur” Bumi di Zona Subduksi

Bayangkan tepi samudra di mana lantai laut perlahan terseret ke bawah benua. Proses ini disebut zona subduksi, tempat kerak samudra lama didaur ulang kembali ke dalam Bumi.

Saat lempeng samudra menukik, ia membawa serta air dan bahan kimia yang terperangkap selama jutaan tahun. Pada kedalaman sekitar 30 hingga 50 mil di bawah permukaan, tekanan dan panas ekstrem memeras keluar cairan super-panas dan asin.

Cairan inilah yang naik ke atas mantel, membantu membentuk magma yang kelak memicu letusan gunung api. Dan menariknya, dalam kondisi tertentu, cairan ini juga bisa menjadi kendaraan bagi emas.

“Model termodinamika yang kami publikasikan adalah yang pertama kali mengungkap keberadaan kompleks emas-trisulfur pada kondisi ini, sesuatu yang sebelumnya belum diketahui,” jelas Adam Simon, profesor Ilmu Bumi dan Lingkungan di University of Michigan. “Ini menjadi penjelasan paling masuk akal mengapa terdapat konsentrasi emas yang sangat tinggi di beberapa sistem mineral di zona subduksi.”

Baca juga: Inti Bumi Mengandung Emas, Sebagian Mengalir ke Permukaan

Sulfur: Partner Setia Emas

Sendiri, emas enggan berpindah tempat. Ia jarang larut dan lebih suka “diam di rumah”. Namun, ketika bertemu pasangan tepat—sulfur—sifat emas berubah total.

Dalam mantel yang menjadi lebih oksidatif akibat cairan dari lempeng samudra, sulfur bertransformasi ke bentuk yang tidak biasa. Salah satunya membentuk kompleks emas-trisulfur, yakni satu atom emas yang terikat dengan tiga atom sulfur.

Kompleks ini adalah cara utama bagi emas untuk larut dalam cairan super-panas dan ikut naik ke atas. Jumlah emas yang terbawa bisa mencapai gram per meter kubik cairan, ribuan kali lebih banyak dibanding yang biasanya terjebak di mantel.

Dua bongkah emas yang ditemukan Brent Shannon dan Ethan West di dekat kota tambang emas Tarnagulla di negara bagian Victoria.Aussie Gold Hunter/Discovery Channel via BBC Dua bongkah emas yang ditemukan Brent Shannon dan Ethan West di dekat kota tambang emas Tarnagulla di negara bagian Victoria.

Baca juga: Dari Mana Asal-usul Emas dan Logam Berat Lainnya?

Mengapa Tidak Semua Zona Subduksi Menghasilkan Emas?

Meski banyak zona subduksi di dunia, tidak semuanya melahirkan deposit emas. Riset ini memberi jawabannya:

  • Harus ada cairan oksidatif dari lempeng yang tenggelam.
  • Air sangat penting—tanpa air, sistem transport emas tidak bisa bekerja.
  • Tekanan dan suhu harus pas untuk membentuk kompleks emas-trisulfur.

Ketika semua kondisi berpadu, magma yang naik membawa emas, mendingin, lalu menyimpannya di celah dan urat batuan. Dalam jutaan tahun, terbentuklah deposit emas yang bernilai tinggi.

“Air bukan pilihan, tapi wajib. Sistem yang memiliki air mampu mengangkut emas jauh lebih banyak dibanding sistem kering. Air adalah truk pengiriman yang membuat semuanya berjalan,” tegas Simon.

Baca juga: Fakta Logam Mulia: Berapa Banyak Emas di Dunia? 

Dari Lingkar Pasifik hingga Tambang Masa Depan

Simon menambahkan, “Di seluruh benua yang mengelilingi Samudra Pasifik—mulai dari Selandia Baru, Indonesia, Filipina, Jepang, Rusia, Alaska, Amerika Serikat bagian barat, Kanada, hingga Chili—kita melihat banyak gunung berapi aktif. Semua terbentuk di atas zona subduksi. Proses yang sama yang memicu letusan gunung api juga membentuk deposit emas.”

Pengetahuan baru ini bukan hanya soal sains, tapi juga praktis. Dengan memahami mekanisme pembentukan emas, geolog bisa lebih cerdas memilih lokasi eksplorasi. Bekas zona subduksi dengan kondisi ideal mungkin menyimpan deposit emas besar berikutnya.

Sebelumnya, ilmuwan berbeda pendapat soal kemungkinan kompleks emas-trisulfur ini benar-benar eksis di dalam mantel. Studi terbaru mematahkan keraguan tersebut.

“Hasil ini memberikan pemahaman kuat tentang mengapa zona subduksi tertentu menghasilkan bijih emas yang sangat kaya,” ujar Simon. “Jika digabungkan dengan penelitian lain, pengetahuan ini bisa meningkatkan eksplorasi emas di masa depan.”

Dengan kata lain, Bumi ternyata punya “pabrik kimia” sendiri yang meramu sulfur, air, dan panas untuk mengangkut emas dari kedalaman. Jika kondisinya tepat, planet ini secara alami menjalankan proses konsentrasi emas—hingga akhirnya manusia menemukannya dalam kilau kuning yang memesona di permukaan.

Baca juga: Mengapa Emas Begitu Lunak dan Mudah Dibentuk? 

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Ilmuwan Temukan Spesies Baru Laba-Laba Seram yang Bersembunyi di California
Ilmuwan Temukan Spesies Baru Laba-Laba Seram yang Bersembunyi di California
Oh Begitu
Bukan Hiu Putih, Studi Stanford Ungkap Spesies Hiu yang Rentan Punah Akibat Manusia
Bukan Hiu Putih, Studi Stanford Ungkap Spesies Hiu yang Rentan Punah Akibat Manusia
Oh Begitu
10 Fenomena Langit November 2025: Dari Hujan Meteor hingga Supermoon
10 Fenomena Langit November 2025: Dari Hujan Meteor hingga Supermoon
Fenomena
Krayon Oker Berusia 42.000 Tahun Ditemukan di Ukraina, Bukti Neanderthal Berjiwa Seni
Krayon Oker Berusia 42.000 Tahun Ditemukan di Ukraina, Bukti Neanderthal Berjiwa Seni
Oh Begitu
Chupacabra, Monster Mitos yang Tercipta Karena Evolusi dan Penyakit
Chupacabra, Monster Mitos yang Tercipta Karena Evolusi dan Penyakit
Oh Begitu
Wahana Juice yang Menuju Jupiter Ambil Risiko Pengamatan Komet 3I/ATLAS
Wahana Juice yang Menuju Jupiter Ambil Risiko Pengamatan Komet 3I/ATLAS
Oh Begitu
Ada Supermoon 5 November, BMKG: Waspada Banjir Rob di Pesisir Indonesia
Ada Supermoon 5 November, BMKG: Waspada Banjir Rob di Pesisir Indonesia
Fenomena
Supermoon Beaver 5 November Jadi Bulan Purnama Paling Dekat Bumi Sejak 2019
Supermoon Beaver 5 November Jadi Bulan Purnama Paling Dekat Bumi Sejak 2019
Fenomena
Penampakan Jika Seluruh Es Antartika Mencair, Ada Jurang dan Pegunungan
Penampakan Jika Seluruh Es Antartika Mencair, Ada Jurang dan Pegunungan
Oh Begitu
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
BMKG Konfirmasi 43,8 Persen Wilayah Indonesia Masuk Musim Hujan, Kenali Potensi Cuaca Ekstrem
Fenomena
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Berusia 6 Juta Tahun, Sampel Udara Tertua di Bumi Ditemukan di Es Antartika
Fenomena
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Alarm dari Laut: Lumba-Lumba Kena Alzheimer Gegara Limbah Manusia, Ini Bukti Ilmiahnya
Oh Begitu
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Teleskop James Webb Bongkar Rahasia Komet 3I/ATLAS: Diselimuti Kerak Radiasi Kosmis Miliaran Tahun
Fenomena
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Identik dengan Halloween, Labu Ternyata Bisa Simpan Bahan Kimia Beracun
Oh Begitu
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Fosil Badak Salju dari Kutub Utara Ungkap Jembatan Darat Atlantik Kuno
Oh Begitu
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau