KOMPAS.com - Melihat seekor hiu paus—ikan terbesar yang masih hidup di dunia—sering membuat orang terpesona. Gerakannya yang pelan dan anggun, ditambah sifatnya yang jinak, menjadikan hiu paus simbol misteri lautan. Namun, di balik ketenangan itu, tersimpan kisah pilu tentang perjuangan bertahan hidup.
Dalam 75 tahun terakhir, jumlah hiu paus di dunia merosot lebih dari separuh. Di wilayah Indo-Pasifik, penurunannya bahkan lebih tajam lagi.
Faktor utamanya adalah perburuan, kerusakan habitat, dan jeratan alat tangkap. Masalahnya, hiu paus butuh waktu hingga 30 tahun untuk matang secara seksual, sehingga pemulihan populasi berlangsung sangat lambat.
“Spesies besar seperti hiu paus tumbuh lambat, bereproduksi terlambat, dan menghasilkan keturunan sedikit. Itulah mengapa mereka rentan,” jelas para peneliti. Hilangnya raksasa laut ini bisa menimbulkan efek berantai dalam ekosistem laut.
Baca juga: Tubuhnya Sangat Besar, Apakah Hiu Paus Berbahaya bagi Manusia?
Di Bentang Laut Kepala Burung, Papua Barat, penelitian terbaru menemukan bahwa 62 persen hiu paus memiliki luka atau bekas luka—sebagian besar akibat aktivitas manusia.
“Kami menemukan bekas luka terutama berasal dari tabrakan dengan bagan (alat tangkap tradisional dengan jaring angkat) dan perahu wisata pengamat hiu paus,” ungkap Dr. Edy Setyawan dari Elasmobranch Institute Indonesia.
Luka ringan berupa lecet memang lebih umum, sementara luka parah akibat baling-baling kapal atau serangan predator alami jauh lebih jarang. Namun, akumulasi luka kecil tetap dapat memengaruhi kesehatan dan perilaku hiu paus.
Baca juga: Hiu Paus Makin Terancam Diduga akibat Aktivitas Pelayaran, Studi Jelaskan
Antara 2010 hingga 2023, para ilmuwan melacak hiu paus di Teluk Cenderawasih, Kaimana, Raja Ampat, dan Fakfak—wilayah dengan 26 kawasan konservasi laut. Dari pola bintik unik di tubuhnya, mereka berhasil mengidentifikasi 268 individu.
Sebagian besar yang terlihat adalah jantan muda berukuran 4–5 meter, biasanya sedang mencari ikan teri dan ikan-ikan kecil di dekat bagan. Salah satu hiu paus bahkan tercatat 34 kali dalam tiga tahun.
Fenomena ini sesuai teori ekologi: individu muda cenderung tinggal di perairan dangkal kaya makanan, sementara yang dewasa bermigrasi ke laut dalam.
Baca juga: Temuan Baru, Hiu Paus Sembuhkan Luka dan Tumbuhkan Siripnya Lagi Usai Cedera
Tim Monitoring Hiu Paus Gorontalo menemukan seekor hiu paus dengan bekas luka di bagian tubuhnya saat bearad di perairan Botubarani Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Hiu paus ini pernah datang ke lokasi ini dan telah diidentifikasi dengan nama ID GT40 pada tahun 2020, saat itu panjangnya 4 meter.Hilangnya betina dan individu tua bukan kebetulan. Penelitian menunjukkan hiu paus betina dewasa lebih sering berada di laut dalam, memanfaatkan ngarai dan gunung laut untuk berburu krill dan ikan berkelompok.
“Data pelacakan satelit kami menunjukkan betina dan hiu paus dewasa kerap menggunakan fitur laut dalam,” jelas Mochamad Iqbal Herwata Putra, salah satu penulis studi.
Hal ini disebut segregasi seksual, strategi umum pada vertebrata laut besar untuk mengurangi persaingan makanan dan meningkatkan peluang bertahan hidup.
Baca juga: Studi Ungkap Hiu Paus Mampu Hidup Lebih dari 50 Tahun
Kehadiran hiu paus di dekat pantai membuka peluang besar bagi ekowisata.
“Hiu paus di Teluk Cenderawasih dan Teluk Triton (Kaimana) sering terlihat kembali di lokasi yang sama. Ini menjadikannya aset berharga bagi masyarakat dan pemerintah daerah,” kata Dr. Mark Erdmann dari Rewild.