KOMPAS.com - Butuh waktu 50 hari sebelum Prasenjeet Yadav bersama Raghu Purti—petugas kehutanan setempat—menelusuri jalan kerikil di Cagar Harimau Similipal, Odisha, India menemukan apa yang mereka cari.
Keduanya menyusuri jejak seekor harimau legendaris bernama T12, jantan tertua di kawasan itu, yang menjadi simbol penting populasi harimau di persimpangan jalan antara harapan dan ancaman.
Raghu sendiri belum pernah melihat T12 secara langsung. Rekan-rekannya hanya mengenalnya lewat foto kamera jebak. Melihat langsung harimau seperti T12 sangat penting bagi petugas: mereka bisa memeriksa kondisi fisik hewan dan memastikan tidak ada penyakit yang tak terlihat kamera.
Hari ke-50 menjelang sore, pencarian itu berbuah hasil. Seekor bayangan hitam melintas di depan mobil mereka. Prasenjeet menghentikan mobil dengan cepat. Di depan mereka, seekor harimau besar berdiri tegap, menatap tajam.
“Itu hitam,” bisik Raghu, hampir tak percaya. “Itu benar-benar hitam!”
T12 memiliki bulu unik: loreng hitamnya begitu lebar hingga hampir menutupi warna jingga tubuhnya. Corak ini dikenal sebagai pseudo-melanisme, mutasi genetik langka yang membuat setengah dari sekitar 30 harimau Similipal tampak lebih gelap daripada harimau biasanya.
Baca juga: Mengapa Harimau Berwarna Oranye?
Cagar Harimau Similipal membentang lebih dari 2.700 km persegi. Secara teori, harimau bisa berjalan ratusan kilometer untuk mencari pasangan di cagar lain. Tapi kenyataannya, Similipal terputus dari tetangganya.
Cagar Satkosia di barat daya kini tak memiliki harimau sama sekali. Sementara Sundarban di timur dipisahkan oleh hamparan sawah, kota Kolkata, dan desa-desa padat penduduk. Bagi harimau, tidak ada “jalan keluar” yang aman.
Ketika NTCA (National Tiger Conservation Authority) melakukan survei pada 2006, jumlah harimau liar di seluruh India hanya sekitar 1.400 ekor, turun drastis dari 40.000 ekor seabad sebelumnya.
Di Similipal, populasi harimau anjlok hingga empat ekor pada 2014—hanya satu jantan tersisa. Dialah ayah T12, yang lahir pada 2015. Berkatnya, kini Similipal perlahan pulih. Namun semakin banyak anak harimau yang lahir, semakin sering pula loreng hitam pseudo-melanisme terlihat. Para ahli melihat ini sebagai gejala bahaya inbreeding.
Baca juga: Hari Harimau Sedunia 2025: Hidup Berdampingan Itu Mungkin
Untuk memutus lingkaran ini, NTCA menggandeng Dr. Uma Ramakrishnan, seorang ahli ekologi molekuler. Sejak 2005, ia mengumpulkan DNA harimau dari berbagai sumber—dari kulit harimau yang diawetkan di rumah bangsawan seperti keluarga Sisodia di Akaltara, hingga koleksi museum di London, serta sampel kotoran, rambut, dan darah dari harimau liar.
Saat memotong sepotong kecil kulit harimau berusia 80 tahun dengan skalpel, Ramakrishnan berkata:“Ini adalah harta karun sesungguhnya.”
Dengan data historis ini, ia bisa melihat bagaimana keragaman genetik harimau berubah dari masa ke masa. Ketika pada 2017 NTCA memintanya meneliti Similipal, ia segera menemukan penyebabnya: gen pseudo-melanisme yang bersifat resesif telah menyebar luas karena isolasi genetik.
Ini, katanya, adalah “bom waktu” yang jika dibiarkan dapat memunculkan penyakit serius seperti kebutaan, gangguan ginjal, bahkan masalah hormon—seperti yang ditemukan pada kucing domestik.
Baca juga: Lama Tidak Terlihat, Seperti Apakah Harimau Jawa?
Ramakrishnan menyarankan untuk mendatangkan harimau betina dari cagar lain agar kawin silang terjadi. Hasil analisisnya menunjukkan kandidat terbaik ada di Tadoba-Andhari Tiger Reserve di Maharashtra, yang memiliki sekitar 95 ekor harimau dan masih terhubung dengan cagar lain sehingga keragaman gennya lebih baik.