KOMPAS.com - Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra telah diskors oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (1/7/2025).
MK menangguhkan tugas Paetongtarn sebagai perdana menteri (PM) untuk menyelidiki tuduhan membahayakan keamanan nasional.
Untuk diketahui, putri mantan PM Thaksin Shinawatra itu menuai kecaman publik setelah percakapannya dengan eks pemimpin Kamboja Hun Sen bocor dan tersebar secara luas.
Setelah ditangguhkan, perempuan berusia 38 tahun itu menyampaikan permintaan maafnya secara publik.
"Saya ingin meminta maaf kepada masyarakat yang terganggu oleh semua ini. Saya akan terus bekerja untuk negara ini sebagai warga negara Thailand," kata Paetongtarn, dikutip dari The Washington Times, Selasa (1/7/2025).
"Saya sama sekali tidak memiliki niat buruk," lanjutnya.
Baca juga: PM Thailand Diskors dari Tugas Negara oleh MK terkait Masalah Etika, Bagaimana Awal Kasusnya?
Paetongtarn resmi diskors dari jabatannya setelah Mahkamah Konstitusi secara bulat menerima petisi dari 36 senator pro-militer.
Petisi itu menudingnya “tidak berintegritas” dan melakukan “pelanggaran etika” dalam percakapan dengan Hun Sen.
Tak hanya itu, pengadilan juga memutuskan dengan suara 7 banding 2 untuk segera menangguhkannya dari posisi sebagai perdana menteri.
Lantas, apa yang akan terjadi selanjutnya di Thailand setelah sang perdana menteri dinyatakan nonaktif?
Setelah Paetongtarn diskors, pemerintahan Thailand kini menghadapi kekosongan pemerintahan.
Dilansir dari The Nation Thailand, Rabu (2/7/2025), pemerintah Thailand akan mengikuti Pasal 54 Undang-Undang Organik 2018 tentang Prosedur Mahkamah Konstitusi untuk menentukan langkah selanjutnya.
Berdasarkan peraturan itu, MK secara resmi memberitahui pemohon dan memberi waktu 15 hari kepada tergugat untuk menyerahkan pembelaan tertulis.
MK akan melanjutkan penyelidikan terhadap Paetongtarn atas tuduhan membahayakan keamanan nasional akibat komunikasinya dengan eks pemimpin Kamboja Hun Sen.
Obrolan itu membahas insiden bentrokan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Akibatnya, suara protes terhadap PM termuda itu pun semakin lantang.