KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, resmi menetapkan tarif impor sebesar 19 persen terhadap produk asal Indonesia.
Namun sebaliknya, barang-barang dari AS diklaim akan bebas bea masuk saat memasuki pasar Indonesia.
Kebijakan ini disampaikan langsung oleh Trump melalui unggahan di media sosial miliknya, Truth Social, pada Selasa (15/7/2025) waktu setempat.
Trump menyebut, kesepakatan dagang ini sebagai pencapaian besar antara kedua negara. Ia juga menyatakan, perjanjian ini memungkinkan AS memiliki akses yang lebih luas ke pasar Indonesia.
“Mereka (Indonesia) akan membayar 19 persen, dan kami (AS) tidak akan membayar apa pun,” tulis Trump, Rabu (16/7/2025).
Lantas, apakah kesepakatan ini merupakan hal yang baik atau justru bisa merugikan Indonesia?
Baca juga: Trump Ingin Indonesia Bangun Pabrik di AS, Ekonom: Jangan Semua Kemauan Dituruti
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai ada risiko di balik kebijakan tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia, sementara produk AS bebas bea masuk.
"Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0 persen sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (16/7/2025).
Bhima menjelaskan bahwa di satu sisi, ekspor produk seperti alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet memang diuntungkan dengan tarif 19 persen.
Namun, penurunan tarif Indonesia dinilai kurang signifikan dibanding Vietnam, yang berhasil menurunkan tarif dari 46 persen menjadi 20 persen.
Ia menilai negosiasi Vietnam lebih efektif, dan seharusnya Indonesia bisa mendapatkan penurunan tarif yang lebih besar.
"Di sisi lainnya, impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dan lainnya), serta produk farmasi," kata Bhima.
Baca juga: Prabowo Bolehkan RS dan Kampus Asing Buka Cabang di Indonesia, Apa Kata Ekonom?
Ia menambahkan, tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk tersebut mencapai 5,37 miliar dollar AS atau setara Rp 87,3 triliun.
Untuk itu, Bhima menekankan pentingnya memantau pelebaran defisit migas, tekanan terhadap nilai tukar rupiah, serta potensi lonjakan subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.
Ia menilai, alokasi subsidi energi sebesar Rp 203,4 triliun yang diajukan pemerintah masih jauh dari cukup, dan idealnya berada di kisaran Rp 300–320 triliun.