DI BANYAK ruang kelas hari ini, kita mudah sekali menemukan fenomena mengkhawatirkan: siswa yang gelisah hanya setelah kurang dari sepuluh menit penjelasan, enggan membaca teks panjang, dan lebih peka terhadap notifikasi handphone daripada dinamika diskusi.
Mereka saat ini tampak hidup dalam dunia serba cepat, instan, dan berisik secara kognitif. Hadir secara fisik, tapi jiwanya mengembara ke ruang virtual tak berujung.
Percakapan menjadi serba pendek, tradisi membaca digantikan menonton, dan berpikir akhirnya digeser dengan hanya merespons.
Dalam ruang sosial lebih luas seperti di sekolah maupun rumah, banyak guru dan orangtua merasa frustasi karena anak mereka semakin sulit untuk fokus, enggan terlibat dalam diskusi mendalam, dan seringkali tidak sabar menghadapi proses belajar.
Fenomena di atas belakangan lebih dikenal dengan istilah brain rot (pembusukan otak). Ini adalah istilah populer yang merujuk pada kemunduran daya pikir akibat konsumsi konten digital yang serba cepat dan dangkal.
Otak pada akhirnya terbiasa menerima rangsangan instan-video singkat, suara keras, efek visual mencolok-tanpa melalui proses penyaringan dan pemakanaan mendalam.
Baca juga: Banyak Dokter, Memangnya Kita Sehat?
Pada akhirnya kemampuan otak untuk berpikir kritis, mempertahankan perhatian jangka panjang, serta menalar secara sistematis mengalami degradasi.
Ancaman brain rot juga diperparah desain algoritma platform digital yang secara sadar mendorong pengguna untuk terus menggulir layar dan mengejar stimulasi berikutnya.
Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan konten cepat akhirnya memicu dopamine loop, yaitu siklus neurobilogis di mana otak secara terus menerus mengejar rangsangan yang menyenangkan secara instan.
Ketika kita terjebak dalam pola ini, proses belajar menjadi hambar karena tidak lagi mampu memuaskan secara neurologis.
Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya menyebabkan kesulitan fokus pada penurunan motivasi belajar, lebih dari itu juga menghambat perkembangan fungsi eksekutif otak.
Fungsi ini sangat penting dalam proses pengambilan keputusan, pengendalian diri, serta pengelolaan emosi.
Dalam tulisannya, Aminah (The Converstion, 2025) menjelaskan bahwa konsumsi konten digital berlebihan, yang berkarakter cepat dan dangkal, sangat mudah menyebabkan gejala brain rot, terutama pada anak-anak dan remaja yang belum sepenuhnya memiliki sistem kontrol diri yang matang.
Gawai dengan beragam hiburan dunia maya yang ada di dalamnya kini menjadi ruang dominan untuk generasi muda menghabiskan waktunya.
Namun, alih-alih menjadi sarana eksplorasi pengetahuan, justru yang acapkali ditemui adanya kecanduan dan keterlambatan perkembangan kemampuan.