KOMPAS.com - Sebuah inovasi diluncurkan oleh para ilmuwan di Afrika Selatan dalam upaya melindungi badak dari kepunahan.
Melalui Proyek Rhisotope, tim dari University of the Witwatersrand menyuntikkan bahan radioaktif ke dalam cula badak.
Meski cula badak disuntik radioaktif terdengar ekstrem, para peneliti menegaskan bahwa metode ini sepenuhnya aman bagi satwa dan justru menjadi senjata baru dalam mendeteksi serta mencegah perdagangan ilegal cula badak secara global.
"Penurunan jumlah perburuan liar hanya mungkin terjadi jika upaya pencegahan dilakukan secara proaktif. Teknologi ini menjadi langkah penting karena bersifat proaktif dalam menghadapi masalah, bukan reaktif," ujar Profesor James Larkin dari Universitas Witswatersrand, dikutip dari BBC, Sabtu (2/8/2025).
Baca juga: Keberhasilan Hamil Bayi Tabung Badak Pertama di Dunia Cegah Kepunahan
Ia menekankan bahwa strategi baru ini merupakan langkah proaktif yang dapat mengubah pendekatan konservasi.
Proyek ini sendiri telah melewati enam tahun penelitian dan pengujian, dengan dana yang digelontorkan mencapai sekitar 290.000 dollar AS (sekitar Rp 4,7 miliar).
Sebanyak 20 ekor badak menjadi bagian dari studi awal, dan hasilnya menunjukkan bahwa penyuntikan radioaktif tidak berdampak negatif terhadap kesehatan mereka.
Lebih jauh lagi, zat radioaktif ini memungkinkan petugas bea cukai mendeteksi cula yang diselundupkan, bahkan saat disimpan dalam kontainer berukuran 40 kaki.
Baca juga: Kelahiran Bayi Delilah Tambah Populasi Badak Sumatera, Spesies yang Hanya Ada di Indonesia
Afrika Selatan saat ini menjadi rumah bagi populasi badak terbesar di dunia, tetapi juga menjadi titik panas perburuan liar, dengan lebih dari 400 ekor badak diburu setiap tahunnya sejak 2021.
Sebagian besar cula badak diselundupkan ke pasar Asia, di mana mereka dipakai untuk pengobatan tradisional atau dijadikan simbol status.
Jamie Joseph, aktivis konservasi dan direktur Saving the Wild, menyambut baik pendekatan baru ini.
“Proyek Rhisotope adalah inovasi yang sangat dibutuhkan. Ini mungkin bukan solusi akhir, karena hanya kemauan politik dan penegakan hukum yang bisa mengakhiri krisis badak, tetapi ini adalah langkah besar untuk menghentikan arus penyelundupan dan memberikan data penting untuk memetakan jalur perdagangan ilegal,” katanya.
Baca juga: Bayi Badak Sumatera Lahir di Taman Way Kambas, Kini Total Ada 9 Ekor
Jessica Babich, kepala proyek Rhisotope, menambahkan bahwa tujuan jangka panjang adalah menerapkan teknologi ini secara luas guna melindungi salah satu spesies paling ikonik dan terancam di Afrika.
“Melalui teknologi ini, kita tidak hanya menjaga badak, tetapi juga mempertahankan bagian penting dari warisan alam kita,” ungkapnya.
Saat ini, badak putih diklasifikasikan sebagai spesies yang terancam, sementara badak hitam berada di ambang kepunahan.