
BAYANGKAN suatu pagi di Jakarta atau di Surabaya, baliho besar di tepi jalan memajang nama rumah sakit yang belum pernah kita dengar sebelumnya.
Bukan dari Surabaya atau Bandung, melainkan dari Singapura, Thailand, atau bahkan dari Amerika Serikat. Mereka mambawa slogan, “Perawatan dengan Kualitas Kelas Dunia, Kini di depan Rumah Anda”.
Kabar bahwa pemerintah membuka pintu bagi rumah sakit asing untuk beroperasi di Indonesia telah memicu perdebatan di dalam negeri. Di satu sisi, ada yang menyambutnya dengan penuh harapan.
Di sisi lain, ada yang khawatir akan hadirnya komersialisasi layanan kesehatan di Indonesia. Pasien dilihat bukan sebagai orang yang berhak sehat, tapi sebagai pelanggan yang dapat dilihat dan direbut nilai rupiahnya.
Rumah sakit asing yang masuk pasti membawa janji kualitas: dokter lulusan universitas ternama dunia, teknologi medis tercanggih, kamar rawat inap bak hotel berbintang, hingga layanan administrasi yang cepat tanpa antrean panjang.
Baca juga: Rumah Sakit Asing di Indonesia: Investasi atau Ancaman Sistemik?
Semua terdengar hebat, apalagi bagi masyarakat yang pernah mengalami kesulitan birokrasi rumah sakit dalam negeri yang sering bikin pusing sebelum pelayanan tenaga medis dimulai.
Tidak sedikit warga Indonesia yang tiap tahun terbang ke Penang, Kuala Lumpur, atau Singapura untuk berobat. Tujuan mereka mencari pelayanan yang lebih cepat, dokter lebih sabar, atau teknologi lebih mutakhir. Mereka mencari kualitas.
Maka kalau yang lebih-lebih tadi hadir di dalam negeri, kenapa tidak?
Yang terjadi lebih simpel, hemat ongkos perjalanan, hemat waktu, dan mungkin bisa membawa keluarga besar ikut menunggu tanpa repot dan keluar biaya besar.
Pembangunan sistem kesehatan memang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kesehatan secara global. Ketergantungan negara (Indonesia) dalam kesehatan masyarakat sangat besar.
Di bidang infrastruktur, penerapan teknologi mutakhir, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), modernisasi sistem pelayanan, semuanya berstandar internasional. Termasuk kerja sama di bidang layanan rumah sakit asing.
Namun, muncul pertanyaan yang tak bisa diabaikan, siapa yang sebenarnya akan mampu membayar kualitas layanan di rumah sakit asing?
Jika tarifnya standar internasional, jangan-jangan mereka hanya melayani kelompok menengah atas dan eksekutif.
Sementara mayoritas rakyat Indonesia yang masih berjuang membayar iuran BPJS Kesehatan, akan tetap mengantre berjam-jam di rumah sakit dalam negeri dengan SDM dan fasilitas yang kerap kali dikeluhkan.
Bisa jadi dokter-dokter terbaik di Indonesia, yang bekerja di rumah sakit swasta nasional maupun rumah sakit pendidikan, akan memutuskan pindah ke rumah sakit asing dengan tawaran tunjangan yang lebih besar.
Jika itu terjadi, maka rumah sakit dalam negeri kehilangan tenaga medis yang kompeten sehingga mutu pelayanan rumah sakit tidak berkembang.
Kesenjangan kualitas antara pasien eksekutif, mereka yang mampu, ekspatriat dan pasien masyarakat umum makin melebar.
Baca juga: Banyak Dokter, Memangnya Kita Sehat?
Banyak yang berpendapat dengan masuknya rumah sakit asing, maka persaingan sehat akan memaksa rumah sakit dalam negeri berbenah. Rumah sakit dalam negeri harus meningkatkan mutu layanan, memperbarui teknologi, dan memperlakukan pasien dengan lebih ramah.
Namun, kenyataannya tak sesederhana itu. Rumah sakit swasta yang sekarang berdiri juga harus menghitung langkah investasi yang akan dilakukan.
Teknologi medis mahal, SDM terlatih tidak mudah diperoleh, dan biaya operasional terus naik. Jika persaingan dalam bentuk kualitas dan kenyamanan, rumah sakit dalam nasional negeri bisa kalah sebelum sempat berbenah.
Di samping rumah sakit milik pemerintah dan TNI/Polri, sudah banyak jaringan rumah sakit swasta nasional berkembang di dalam negeri. Misal, RS Mayapada, RS Siloam, Mitra Keluarga, Memorial Hospital, RS Omni, dan RS Hermina untuk menyebut sebagian.
Rumah sakit jaringan nasional tersebut telah menyediakan fasilitas modern, SDM kompeten dan profesional, dan menawarkan layanan eksekutif di dalam negeri. Tahu sendiri pasien yang datang ke rumah sakit eksekutif adalah masyarakat dengan kantong tebal.
Kehadiran rumah sakit asing nantinya dapat berdampak positif. Hal yang terjadi jika pemerintah mampu membuat regulasi yang tepat, dan kehadiran rumah sakit asing bisa dimanfaatkan untuk transfer ilmu.
Dokter Indonesia bisa belajar prosedur baru, perawat bisa mendapat pelatihan standar internasional, dan rumah sakit dalam negeri bisa menjamin kolaborasi riset.
Diperlukan hadirnya kemauan politik untuk mengatur agar hal tersebut terjadi. Atau membiarkan rumah sakit asing beroperasi seperti pulau eksklusif di tengah kota, lengkap dengan dokter impor dan pasien impor.
Tergantung pada pemerintah. Harus ditentukan tujuan mendasar membuka pintu bagi rumah sakit asing untuk investasi, memperbaiki mutu layanan kesehatan, dan perbaikan sisten kesehatan secara keseluruhan?
Baca juga: Panjang Urusan Cek Kesehatan Gratis
Yang kita dengar dari Menkes Budi Gunadi Sadikin, keberadaan rumah sakit asing sebagai strategi nasional untuk mengurangi warga Indonesia yang berobat keluar negeri, membawa banyak devisa ke luar negeri.
Kita berharap masuknya rumah sakit asing dapat memperbaiki sistem pelayanan kesehatan secara nasional. Masalah kita sesungguhnya akses dan mutu pelayanan kesehatan yang belum merata.
Dituntut adanya persyaratan yang jelas, seperti kewajiban bekerja sama dengan rumah sakit dalam negeri (baik RSUP, RSUD, swasta nasional), program magang untuk tenaga kesehatan Indonesia, serta terdapatnya kuota tempat tidur untuk pasien dengan pendekatan sosial.
Kita mesti memahami dalam layanan kesehatan, membuka pasar bebas bukan solusi yang terbuka lebar. Kesehatan adalah hak dan bukan servis pelayanan yang mengikuti hukum perdagangan biasa.
Jika dibiarkan rumah sakit asing melayani segmen masyarakat eksekutif dan kaya, sementara rumah sakit di dalam negeri (RSUD dan swasta nasional) kekurangan dana, tenaga dan fasilitas, maka ketimpangan akan lebih dalam.
Terbukanya rumah sakit asing masuk di Indonesia membuka peluang sekaligus ancaman. Rumah sakit asing bisa memberi dampak perbaikan akses dan upaya peningkatan mutu dalam layanan kesehatan di Indonesia.
Terlebih kini pemerintah berupaya membangun beberapa rumah sakit pusat (di daerah) dengan pelayanan kelas premium dengan sasaran masyarakat yang berduit. Jadi ada semangat memperbaiki layanan di dalam negeri yang dapat dirasakan masyarakat.
Ancaman yang terjadi, yaitu memperlebar ketimpangan layanan kesehatan yang belum merata dan menimbulkan ironi selama ini.
Semua tergantung pada pemerintah, yaitu regulasi kemauan politik, keberpihakan negara, dan sistem kesehatan yang lebih baik.
Kita tidak mengharapkan terdapatnya rumah sakit asing yang menjanjikan dengan teknologi canggih dan fasilitas seperti hotel bintang lima, sementara di sisi lain terdapat RSUD dan puskesmas yang selalu dipenuhi pasien dan kekurangan peralatan.
Kehidupan kerap kali menghadirkan ketimpangan yang seperti terlihat alami dan manusiawi. Namun, negara harus berpihak kepada rakyat banyak dengan membuat regulasi yang menjamin pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan merata.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang