KOMPAS.com - Menonton atau membaca berita tentang masalah negara secara terus-menerus dalam jangka panjang bisa membuat seseorang kehilangan empati.
Psikolog Meity Arianty menjelaskan, kondisi tersebut bukan sekadar kebetulan, melainkan berkaitan dengan reaksi emosional manusia yang tertekan akibat terlalu sering melihat hal-hal buruk.
Baca juga:
Menurut psikolog yang berpraktik di Depok, Jawa Barat, ini, empati bisa terkikis ketika seseorang terus-menerus terpapar informasi negatif.
Alhasil, seseorang mungkin saja merasa terbiasa ketika melihat berita yang memicu amarah atau kesedihan.
“Saya paham bahwa terlalu sering terpapar berita negatif, terutama yang berkaitan dengan kekerasan atau ketidakadilan, dapat membuat kita merasa 'terbiasa' dan kehilangan rasa empati,” jelas Meity saat diwawancarai Kompas.com, Sabtu (30/8/2025).
Ia menjelaskan, hal ini sesuai dengan konsep desensitisasi. Jika emosi seseorang sudah dipaksa berulang kali menghadapi kemarahan, kesedihan, atau rasa takut maka respons emosional terhadap peristiwa serupa akan menurun.
“Hal ini terjadi karena kemarahan dan kesedihan sudah di ambang batas yang bisa kita toleri,” tambahnya.
Dengan kata lain, terlalu sering menyaksikan berita buruk bisa membuat masyarakat menjadi apatis.
Meski sulit, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk tetap menjaga empati, sekaligus tetap terinformasi mengenai situasi sosial dan negara. Berikut cara yang disarankan Meity.
Meity menyarankan agar masyarakat tidak hanya membatasi konsumsi berita negatif, tapi juga membangun koneksi nyata dengan orang lain.
“Sehingga untuk mengatasi hal ini, penting untuk mengingat kembali nilai-nilai empati dengan melibatkan diri dalam interaksi sosial yang mendalam,” ujarnya.
Misalnya, berbicara langsung dengan orang yang terdampak atau mengikuti kegiatan sosial bersama komunitas.
Baca juga:
Kepedulian bisa diwujudkan lewat aksi nyata, baik besar maupun kecil.
Meity mencontohkan, seseorang bisa membantu dengan menyuarakan dukungan melalui media sosial, menyumbangkan uang, tenaga, atau berpartisipasi dalam aksi solidaritas.
“Misalnya, berbicara langsung dengan orang yang terdampak atau terlibat dalam aksi sosial yang bermanfaat, atau menyumbang baik tenaga atau uang buat korban demo,” jelasnya.
Langkah sederhana ini tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga menjaga sensitivitas sosial agar empati tetap hidup.