INSIDEN kericuhan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada Kamis (6/2/2025), yang melibatkan Hotman Paris Hutapea dan Razman Arief Nasution beserta tim kuasa hukumnya, menjadi sorotan publik setelah rekaman peristiwa tersebut viral di media sosial.
Kejadian ini tidak hanya mencoreng wajah peradilan Indonesia, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai etika profesi advokat dan bagaimana menjaga wibawa lembaga peradilan.
Ruang sidang adalah tempat sakral di mana hukum ditegakkan dengan penuh martabat. Pasal 217 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa "Sidang pengadilan bersifat terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh undang-undang."
Keterbukaan ini bukan hanya bentuk transparansi, tetapi juga upaya menegakkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Baca juga: Legislative Heavy: DPR Berkuasa dengan Tata Tertib
Keterbukaan tersebut bukan alasan untuk melanggar norma kesopanan dan ketertiban. Insiden di mana terdakwa Razman Nasution mengamuk, bahkan tim kuasa hukumnya sampai berdiri di atas meja persidangan, jelas merupakan pelanggaran serius terhadap etika dan tata tertib sidang.
Hal ini berpotensi melanggar Pasal 217 KUHP yang mengatur tentang penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court), di mana setiap tindakan yang merendahkan martabat atau mengganggu proses peradilan dapat dikenakan sanksi hukum.
Advokat, sebagai bagian dari penegak hukum, memiliki kewajiban moral dan profesional untuk menjaga integritas profesi.
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) menegaskan bahwa advokat harus bersikap sopan terhadap hakim, sesama advokat, dan pihak-pihak lain di pengadilan.
Tindakan anarkistis yang dilakukan oleh tim kuasa hukum Razman Nasution tidak hanya melanggar kode etik tersebut, tetapi juga merusak citra profesi advokat di mata publik.
Advokat memiliki hak imunitas dalam menjalankan tugasnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Hak ini bukan berarti kebal dari aturan etika dan hukum yang berlaku. Imunitas tidak dapat digunakan sebagai tameng untuk membenarkan perilaku tidak terpuji di ruang sidang.
Pengadilan adalah simbol supremasi hukum (rule of law). Setiap aktor di dalamnya: hakim, jaksa, penasihat hukum, dan pihak terkait lainnya memiliki peran yang sudah diatur dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Seorang advokat, misalnya, memiliki kewajiban untuk bertindak berdasarkan kode etik profesi yang menuntut sikap hormat kepada pengadilan, menjaga martabat profesi, serta menghormati lawan seprofesi.
Dalam persidangan Razman dan Hotman, seakan jauh dari batas-batas profesionalisme.
Baca juga: Ironi Kemenkeu yang Konon Berintegritas
Alih-alih berargumen secara substantif, persidangan berubah menjadi ajang saling serang pribadi, adu ego, dan pertunjukan retorika yang tidak relevan dengan pokok perkara.