DI ANTARA beban tersebut adalah ekonomi yang inefisien. Seperti proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang belum tampak kemajuan pembangunannya.
Beban fiskal—akibat gunungan hutang juga bagian krusial beban pemerintahan Prabowo Subianto.
Teranyar adalah sertifikat wilayah laut. Kontroversial ini terjadi di era Jokowi. Satire publik pun menohok.
Seolah-olah tanah, air dan udara tak lagi dikusai negara, tapi taipan. Ini adalah praktik bernegara paling anomali.
Dua periode Jokowi mengampu RI, utang pemerintah melonjak. Di Akhir periode Susilo Bambang Yudhoyono, rasio hutang terhadap PDB 24,1 persen.
Jokowi mengakhiri dua periode pemerintahan dengan rasio hutang 41 persen terhadap PDB. Meningkat 15,3 persen poin.
Baca juga: Patok-patok Laut
Prabowo memulai pemerintahan dengan warisan utang jatuh tempo yang mesti dibayar sebesar Rp 800,33 triliun. Bukan uang kecil. Berdampak pada beban fiskal yang cukup besar.
Katakanlah ada wabah Covid-19, sehingga utang meningkat. Namun, sebelumnya pun rasio hutang sudah menanjak.
Era Jokowi rasio utang meningkat, tapi pertumbuhan mangkrak di 5 persen. Incremental capital output ratio (ICOR) tinggi. Gini ratio mendekati 0,4.
Inflasi memang rendah di era Jokowi, tapi tak bisa mendongkrak roda pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar berbasis pada konsumsi.
Inflasi rendah, semestinya membuat daya beli bagus. Mendongkrak konsumsi yang menjadi tumpuan PDB.
ICOR pasca-Jokowi 6,3. Apa artinya? untuk meningkatkan PDB sebesar 1 unit, diperlukan tambahan investasi sebesar 6,3 kali lipat.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5 persen dengan PDB Rp 23.000 triliun dan ICOR 6,3, maka Indonesia memerlukan investasi sebesar Rp 7.245 triliun.
Jelas inefisien. Untuk menghasilkan PDB 1 unit, butuh tambahan investasi untuk output 6,3 kali.
Ekonomi (biaya investasi) yang terlalu mahal. Tengoklah negara-negara lain yang sepantaran. Malaysia, Thailand, India, Filipina, yang rata-rata ICOR-nya di posisi 4,0.