CORETAX, sistem baru administrasi perpajakan, diperkenalkan dengan harapan mempercepat digitalisasi dan efisiensi pemungutan pajak.
Namun, seperti kebanyakan ambisi besar yang tidak disertai kesiapan teknis, ia justru menjadi penghambat.
Lebih dari sekadar ketidaksiapan teknis, ada kemungkinan lain yang turut menjadi faktor penghambat: masih adanya pihak-pihak yang resisten terhadap sistem perpajakan yang lebih canggih.
Sistem ini berpotensi membongkar praktik-praktik lama, membuat perpajakan lebih transparan, dan mengungkap apa yang selama ini mereka sembunyikan.
Resistensi ini dapat berasal dari berbagai pihak yang selama ini diuntungkan oleh celah sistem yang lama, baik dari dalam birokrasi maupun dari wajib pajak besar yang memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo.
Penerapan sistem yang tergesa-gesa ditambah komitmen setengah hati, membuat sistem ini tidak siap dijalankan sepenuhnya, memaksa pemerintah untuk tetap menggunakan sistem lama.
Sistem perpajakan tidak stabil, yang justru memperburuk penerimaan negara yang sudah menghadapi tantangan berat. Akibatnya, kita kini memiliki dua sistem yang berjalan bersamaan— ironi dalam upaya modernisasi.
Seorang penguasa yang baik, kata Adam Smith dalam The Wealth of Nations, harus tahu dari mana uangnya berasal dan ke mana ia pergi.
Baca juga: Luhut Desak Prabowo Segera Audit Coretax
Namun, di negeri ini, uang yang seharusnya menjadi hak negara sering kali memiliki cara sendiri untuk menguap sebelum sampai ke kas negara.
Pajak, yang seharusnya menjadi tulang punggung penerimaan negara, kini menghadapi hambatan yang tidak sepele: peraturan yang menguntungkan segelintir orang, serta kebocoran anggaran yang tak kunjung tersumbat.
Tak hanya itu, revisi kebijakan perpajakan yang diharapkan bisa meningkatkan penerimaan malah menambah ketidakpastian.
Formula baru tarif efektif rata-rata (TER) dalam pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) 21, yang berlaku sejak tahun lalu, justru mengoreksi setoran pajak.
Sementara rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang batal diterapkan secara menyeluruh semakin mempersempit ruang fiskal.
Dengan segala kerumitan ini, target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun terlihat seperti puncak gunung yang semakin menjulang, sementara pemerintah hanya punya seutas tali rapuh untuk mendakinya.
Bercermin kepada negara-negara maju seperti Jerman dan Kanada, mereka telah berhasil mengoptimalkan penerimaan pajaknya dengan sistem digitalisasi yang lebih matang.