DEFISIT APBN 2025 hingga 28 Februari 2025, lebih kecil dari seperenam dari defisit yang direncanakan sebesar Rp 616,2 triliun.
APBN 2025 telah berjalan dua bulan atau seperenam tahun, sehingga dengan asumsi proyeksi pro rata pendapatan dan belanja setiap bulannya, maka defisit dalam dua bulan semestinya sebesar Rp 102,7 triliun.
Oleh karena itu, defisit sebesar Rp 31,2 triliun jauh lebih kecil daripada angka proyeksi dua bulan.
Hingga Februari 2025, pendapatan negara terealisasi Rp 316,9 triliun (10,5 persen), belanja negara terealisasi Rp 348,1 triliun (9,6 persen), defisit sebesar Rp 31,2 triliun, serta terjadi surplus keseimbangan primer sebesar Rp 48,1 triliun.
Keseimbangan primer adalah pendapatan dikurangi belanja tanpa belanja bunga. Keseimbangan primer yang surplus dalam dua bulan ini menunjukkan kebijakan efisiensi anggaran cukup efektif menekan belanja pemerintah.
Sedangkan defisit yang terjadi disebabkan pembayaran bunga utang. Utang jatuh tempo yang besar pada tahun ini, merupakan tantangan utama yang harus dihadapi pemerintah.
Namun, dengan kinerja ekonomi Indonesia yang ekspansif khususnya di sektor manufaktur, dan ditunjang kebijakan efisiensi anggaran, memberikan optimisme pada APBN 2025.
Pendapatan negara pada APBN tahun 2025 ditarget sebesar Rp 3.005,1 triliun. Belanja negara dialokasikan sebesar Rp 3.621,3 triliun.
Keseimbangan primer (pendapatan negara dikurangi belanja negara selain belanja bunga) direncanakan sebesar Rp (63,3) triliun.
Defisit direncanakan sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB, yang akan ditutup dengan pembiayaan anggaran.
Deviasi asumsi juga sangat rendah, di mana menunjukkan perencanaan fiskal pemerintah cukup pruden.
Asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2025 sebesar 5,2 persen adalah angka realistis, jika melihat tren pertumbuhan sebelumnya.
APBN tahun 2025 dibangun dengan asumsi pertumbuhan 5,2 persen, inflasi 2,5 persen, nilai tukar Rp 16.000 per dollar AS, Yield SBN 10 tahun 7,0, harga minyak mentah 82 dollar AS perbarel, lifting minyak 605.000 barel per hari, dan lifting gas 1.005.000 barel per hari.
Realisasi pada Februari terjadi deviasi, tapi tidak signifikan. Inflasi terealisasi lebih rendah daripada asumsi.
Inflasi lebih rendah dari asumsi dipengaruhi program diskon listrik, penurunan tarif angkutan Lebaran dan tol menjelang Lebaran, serta normalisasi harga.
Kurs terealisasi lebih tinggi dari asumsi. Harga minyak, lifting minyak, dan lifting gas lebih rendah daripada asumsi.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dengan asumsi Rp 16.000, realisasi (kenyataan) pada bulan Januari-Februari pada kisaran Rp 16.309-Rp 16.340.
Yield SBN 10 tahun diasumsikan 7,0 persen, realisasi (kenyataan) pada Januari-Februari di kisaran 6,88-6,98 persen. Rendahnya Yield SBN mengendorkan tekanan pemerintah pada beban bunga SBN.
Harga minyak mentah diasumsikan sebesar 82 dollar AS/barel, realisasi (kenyataan) pada bulan Januari-Februari lebih murah pada kisaran 74,3-75,6 dollar AS/barel.
Sebagai negara pengimpor minyak mentah tentunya menguntungkan Indonesia, sehingga besaran subsidi energi untuk BBM jauh lebih kecil yang ditanggung APBN.
Lifting minyak yang diproyeksikan sebesar 605.000 barel per hari, hanya terealisasi sebesar 551.700 barel per hari.
Turunnya produksi minyak mentah dalam negeri, di tengah turunnya harga minyak mentah dunia sebesar 74,3-75,6 dollar AS/barel, tentunya menguntungkan Indonesia.