SAAT krisis moneter 1997-1998, pemerintah mengeluarkan himbauan dalam bentuk “Gerakan Cinta Rupiah”.
Pada saat itu, nilai rupiah terus tertekan terhadap dollar Amerika Serikat, dari sebelumnya Rp 2.450 per dollar AS pada Juni 1997 dan terus melemah hingga Rp 17.000 per dollar AS pada akhir 1997.
Hampir semua orang yang memiliki tabungan (saving) mengambil uang rupiahnya dan menukarkannya dengan dollar AS.
Pengambilan rupiah tunai dari bank terjadi secara besar-besaran (rush money), sehingga bank mengalami masalah likuiditas akut.
Sebagai penarik minat masyarakat untuk tetap menabung di bank domestik, perbankan mengeluarkan produk perbankan berupa tabungan dalam satuan dollar AS. Saat itu semua bank mempunyai produk tabungan dalam satuan dollar AS.
Indonesia ketika itu masih sangat tergantung dengan impor dan utang pemerintah dalam bentuk dollar AS, juga mendominasi komposisi utang pemerintah.
Neraca perdagangan pada posisi Desember 1997 mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan pada 1997 ditekan oleh tingginya impor dan menurunnya ekspor sebagai dampak penurunan produksi nasional (resesi).
Baca juga: Ironi Dirjen Pajak Suryo Utomo: Triple Job Saat Penerimaan Pajak Jeblok
Utang pemerintah mencapai 61,74 persen dari produk domestik bruto (PDB) yang hampir seluruhnya dalam bentuk pinjaman luar negeri dengan satuan dollar AS.
Pinjaman luar negeri di saat dollar AS menguat dan rupiah tertekan, semakin memperburuk posisi fiskal pemerintah.
Bandingkan dengan posisi utang pemerintah per November 2024 yang hanya sebesar 39,2 persen dari PDB dan mayoritas berupa utang SBN domestik dalam satuan rupiah.
Tahun 2024, neraca perdagangan ditutup pada posisi surplus sebesar 31,04 miliar dollar AS. Kondisi fiskal masih optimistis menghadapi kondisi geopolitik yang cukup menantang di tengah-tengah kebijakan proteksi pada hampir semua negara dan godaan menggiurkan bagi investor dengan adanya tingginya suku bunga The Fed dan indeks saham Amerika Serikat yang meningkat.
Permasalahan saat ini hanyalah ketidakpercayaan investor asing di bursa saham, di mana investor merespons kebijakan pemerintah Prabowo Subianto dengan sentimen negatif.
Investor ramai-ramai menjual sahamnya di Indonesia, dan membeli saham di negara lain khususnya Amerika Serikat.
Hal itu terlihat dengan indikasi menghijaunya saham-saham di bursa saham Amerika Serikat pasca-Trading Halt Bursa Efek Indonesia pada 18 Maret 2025.
Pada 24 Maret 2025, indeks S&P 500 meningkat 1,76 persen, Nasdaq Composite Index meningkat 2,27 persen, dan Dow Jones meningkat 1,42 persen.