DI TENGAH wacana optimisme pemerintah terhadap prospek pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025, publik tak bisa menutup mata terhadap serangkaian indikator yang menyiratkan kekhawatiran mendalam.
Pertumbuhan global melambat, tensi geopolitik terus menguat, dan tekanan terhadap rupiah yang kian terasa akibat kebijakan suku bunga tinggi dari Amerika Serikat.
Meski dalam berbagai forum, Indonesia dipuji sebagai negara dengan fondasi ekonomi yang relatif kuat, pertanyaan kritis adalah: sekuat apakah resiliensi kita jika badai resesi benar-benar datang?
Apakah fondasi tersebut betul-betul dalam atau hanya lapisan retoris yang mudah runtuh saat tekanan eksternal dan internal bersatu?
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan paradoks yang mengkhawatirkan. Di satu sisi, angka makroekonomi seperti cadangan devisa, tingkat inflasi, dan stabilitas fiskal tampak menjanjikan.
Namun di sisi lain, tingkat pengangguran terselubung, kerapuhan sektor informal, dan ketimpangan akses terhadap sistem keuangan mengungkapkan kerentanan yang sistemik.
Baca juga: Mas Elon, Tesla, dan BYD
Terlebih, keberlanjutan pemulihan pasca-pandemi masih bersifat eksklusif, dinikmati oleh sektor-sektor tertentu, sementara sebagian besar pelaku UMKM masih berjibaku dengan pemodalan terbatas, digitalisasi yang setengah jalan, dan daya beli konsumen yang tak kunjung pulih sepenuhnya.
Tahun 2025 akan menjadi tahun krusial: dimulainya pemerintahan baru di bawah Prabowo-Gibran, tantangan fiskal akibat belanja besar dalam kampanye IKN dan program populis, serta ekspektasi masyarakat terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen seperti yang dicanangkan.
Dalam konteks ini, kita harus lebih jujur dan terbuka membaca ulang konsep resiliensi. Tidak sekadar sebagai jargon pembangunan, tapi sebagai instrumen kritis untuk menakar kesiapan struktural dan institusional kita menghadapi ancaman resesi global yang tak lagi bersifat hipotesis, melainkan probabilitas tinggi.
Dalam berbagai laporan resmi, Indonesia kerap disebut memiliki "fundamental ekonomi yang kuat". Cadangan devisa di atas 130 miliar dollar AS, inflasi relatif terkendali, serta rasio utang terhadap PDB yang masih dalam batas aman kerap dijadikan tolok ukur.
Namun, indikator-indikator tersebut lebih mencerminkan kondisi stabilitas makro ketimbang gambaran menyeluruh tentang kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, sektor konsumsi rumah tangga yang berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB justru menunjukkan gejala stagnasi.
Daya beli masyarakat melemah, beban utang rumah tangga meningkat, dan pertumbuhan pendapatan riil tertinggal jauh di belakang laju inflasi kebutuhan pokok, termasuk pangan, pendidikan, dan perumahan.
Kondisi tersebut diperparah dominasi struktur tenaga kerja informal dalam perekonomian nasional.
Baca juga: Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan, dan Sekolah Negeri yang Terancam Tutup
Data BPS tahun 2024 mengungkap bahwa sekitar 59 persen angkatan kerja masih bergantung pada sektor informal—tanpa kepastian pendapatan, tanpa perlindungan sosial, dan tanpa akses terhadap layanan ketenagakerjaan formal.