DALAM lima tahun terakhir, harga emas di Indonesia mengalami kenaikan signifikan. Jika pada April 2020 harga emas batangan berada di kisaran Rp 800.000 per gram, maka pada April 2025 telah menembus angka sekitar Rp 1.733.000 per gram.
Lonjakan harga ini mencerminkan bukan hanya fluktuasi pasar, tetapi juga perubahan sentimen global terhadap nilai emas sebagai aset lindung nilai, atau yang lazim disebut safe haven.
Kenaikan ini beriringan dengan ketidakpastian ekonomi global, termasuk tekanan inflasi di berbagai negara, konflik geopolitik, ketegangan dalam rantai pasok global, hingga perang tarif Trump.
Ketika investor kehilangan kepercayaan pada stabilitas mata uang atau instrumen keuangan lain, emas menjadi pelabuhan yang dirasa aman dan bernilai pasti.
Harga emas tidak hanya dipengaruhi permintaan investor ritel atau pelaku industri perhiasan, tetapi juga kebijakan makroekonomi. Salah satunya adalah kebijakan suku bunga bank sentral, terutama oleh The Federal Reserve dan Bank Indonesia.
Ketika suku bunga diturunkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, imbal hasil deposito atau obligasi menjadi kurang menarik, sehingga emas menjadi alternatif yang menonjol.
Sebaliknya, ketika suku bunga tinggi, daya tarik emas menurun. Namun, saat ini, ekspektasi bahwa suku bunga akan turun lagi justru membuat harga emas naik.
Di sisi lain, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga membuat harga emas di pasar domestik melonjak, meski harga global belum tentu naik secara proporsional. Inflasi yang meningkat turut memperkuat posisi emas sebagai pelindung daya beli.
Baca juga: Kopdes Merah Putih Balik Modal 5 Kali dalam 2 Tahun: Prediksi atau Halusinasi?
Ketika inflasi meningkat dan nilai tukar mata uang melemah, daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa turun. Dalam situasi ini, emas dipandang lebih stabil nilainya dan dapat menjaga kekayaan.
Kenaikan inflasi mendorong permintaan emas sebagai pelindung nilai, sehingga harganya naik.
Jika terjadi gangguan pasokan emas akibat gangguan produksi, bencana alam, atau hambatan ekspor-impor, harga emas cenderung naik karena pasokan menjadi lebih langka, sementara permintaan tetap tinggi.
Namun, bagi mereka yang ingin membeli emas baru, terutama dalam konteks budaya seperti pernikahan atau investasi pemula, harga yang tinggi bisa menjadi beban tambahan.
Sektor industri juga tak lepas dari dampak. Industri perhiasan, misalnya, menghadapi tekanan harga bahan baku yang tinggi, sehingga harus menyesuaikan harga jual.
Jika tidak diiringi peningkatan daya beli masyarakat, margin keuntungan bisa tergerus. UMKM yang bergerak di bidang kerajinan emas terdorong untuk berinovasi dengan bahan alternatif atau memperluas pasar ekspor.