PADA 2 April 2025, Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump kembali memberlakukan tarif impor secara luas terhadap produk manufaktur dari hampir seluruh negara.
Vietnam termasuk yang paling terdampak, dengan tarif resiprokal tertinggi sebesar 64 persen, akibat defisit perdagangan bilateral yang besar—mencapai 123,5 miliar dollar AS pada 2024—dan posisinya sebagai eksportir manufaktur utama ke pasar AS.
Perbedaan tarif dan defisit neraca perdagangan ini menjadi indikator ketimpangan struktur industri antakedua negara, yang juga terlihat dari disparitas volume ekspor manufakturnya.
Data U.S. Census Bureau (2024) menunjukkan bahwa nilai ekspor manufaktur Vietnam ke Amerika Serikat mencapai 136,6 miliar dollar AS, hampir lima kali lipat lebih besar dibandingkan ekspor Indonesia ke pasar yang sama sebesar 28,1 miliar dollar AS.
Padahal pada awal 2000-an, Indonesia sempat lebih unggul dalam ekspor produk manufaktur seperti tekstil, furnitur, dan alas kaki ke pasar Amerika (US Census Bureau, 2022).
Keunggulan Vietnam atas Indonesia tidak hanya terjadi di pasar AS, tetapi juga terlihat secara global.
Baca juga: Vietnam Bergerak Lebih Cepat
Total ekspor Vietnam pada 2024 mencapai 405,53 miliar dollar AS, jauh melampaui Indonesia yang hanya mencatat ekspor sebesar 264,70 miliar dollar AS (GSO Vietnam, BPS, 2024).
Namun, lebih dari sekadar selisih nilai, perbedaan paling mencolok terletak pada struktur ekspor kedua negara.
Ekspor Vietnam didominasi produk manufaktur, yang menyumbang lebih dari 90 persen dari total ekspor nasional mereka (GSO Vietnam, 2024).
Sebaliknya, struktur ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada bahan baku mentah dan produk olahan primer berbasis sumber daya alam yang diperkirakan mencapai sekitar 62–65 persen dari total ekspor nasional (BPS, 2024).
Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah menjalankan kebijakan hilirisasi selama lebih dari satu dekade, perekonomian nasional belum sepenuhnya bertransformasi menuju basis manufaktur yang kuat dan berdaya saing global—seperti yang telah dicapai Vietnam.
Situasi ini memunculkan pertanyaan strategis: mengapa Vietnam dapat melesat dalam industrialisasi tanpa berbasis sumber daya alam, sementara Indonesia yang telah memanfaatkan sumber daya alam melalui kebijakan hilirisasi malah tertinggal?
Jawabannya terletak pada perbedaan mendasar dalam orientasi dan strategi.
Hilirisasi memang penting, tetapi hanya akan berdampak jika menjadi bagian dari industrialisasi menyeluruh—yang mencakup produktivitas tenaga kerja, keterhubungan logistik, insentif investasi, serta integrasi dalam rantai pasok global. Vietnam unggul dalam seluruh aspek tersebut.
Indonesia sebenarnya bukan tanpa sejarah industrialisasi. Di era Orde Baru, strategi substitusi impor dijalankan melalui pembangunan industri strategis nasional di sektor minyak dan gas, petrokimia, baja dan logam dasar, otomotif, serta tekstil—yang menjadi pilar utama manufaktur nasional pada saat itu.