DI ERA digital, kekuatan promosi telah bergeser dari papan reklame ke layar ponsel. Para selebritas dunia maya, selebgram, influencer, hingga content creator menjadi ujung tombak pemasaran.
Tren ini juga membuka celah baru dalam penyebaran produk palsu yang merugikan konsumen.
Kasus endorse produk kosmetik ilegal, barang fashion KW, hingga obat-obatan tanpa izin edar menjadi bukti bahwa ruang digital belum sepenuhnya steril dari kejahatan konsumen.
Lalu, saat produk palsu merugikan konsumen, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah produsen, platform digital, atau justru sang selebgram?
Dalam hukum, periklanan memiliki peran strategis dalam membentuk persepsi konsumen. Selebgram yang mempromosikan barang tertentu dianggap bukan hanya sebagai pengguna, melainkan sebagai bagian dari rantai distribusi atau agen iklan, meski tak formal.
Pasal 9 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan ketentuan, termasuk dalam hal periklanan yang menyesatkan.
Baca juga: Benang Kusut Kredit Sritex
Sementara selebgram bukanlah produsen, hukum Indonesia belum secara eksplisit mengatur kedudukan hukum mereka.
Namun, jika promosi dilakukan berulang dan terorganisasi, mereka bisa dianggap memiliki “itikad buruk” karena mengiklankan produk yang tidak memiliki legalitas atau terbukti palsu.
Dalam doktrin hukum perdata, siapa yang berkontrak dengan pihak lain wajib melakukan "due diligence".
Selebgram yang menerima endorse seharusnya tidak bisa lagi berlindung di balik dalih “tidak tahu barangnya palsu.”
Ketika promosi dilakukan dengan imbalan (baik berupa uang maupun barang), maka tanggung jawab moral, bahkan bisa menjelma sebagai tanggung jawab hukum.
Sejalan dengan itu, di banyak yurisdiksi, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, influencer diwajibkan menyebutkan hubungan afiliasi mereka dengan produk yang diiklankan, dan akan dimintai pertanggungjawaban jika produk tersebut menyesatkan atau membahayakan publik.
Instagram, TikTok, dan berbagai e-commerce juga tidak bisa bersikap netral. Mereka seharusnya menjadi kurator, bukan hanya fasilitator.
Meski sulit memberlakukan sistem pengawasan penuh terhadap semua transaksi, mekanisme pelaporan dan filtering seharusnya diperkuat.
Di sinilah pentingnya revisi UU ITE dan RUU Perdagangan Digital agar lebih responsif terhadap realitas transaksi daring dan peran pihak ketiga seperti platform digital.