KRISIS demi krisis yang mengguncang dunia dalam dua dekade terakhir – dari Resesi Global 2008, pandemi COVID-19, hingga ketegangan geopolitik terbaru – selalu membawa kita kembali pada pertanyaan klasik: apakah emas masih menjadi tempat berlindung yang aman ketika dunia tampak rapuh?
Dalam narasi sejarah keuangan, emas telah lama digambarkan sebagai penyelamat nilai, simbol ketahanan terhadap gejolak dan inflasi.
Namun, dinamika zaman kini menghadirkan berbagai aset baru yang mengklaim posisi serupa, seperti cryptocurrency, obligasi pemerintah, hingga properti digital.
Seiring berkembangnya teknologi dan preferensi investor modern, emas dihadapkan pada ujian relevansi.
Tidak hanya bersaing dengan aset digital seperti Bitcoin yang disebut-sebut sebagai "emas digital", emas juga harus membuktikan ketahanannya di tengah suku bunga tinggi dan ekspektasi kebijakan moneter ketat.
Baca juga: Tepatkah Tukin untuk Dosen Swasta?
Situasi ini memunculkan diskursus baru: apakah emas tetap menjadi pilihan rasional untuk diversifikasi dan perlindungan portofolio di era penuh ketidakpastian ini?
Lebih dari sekadar investasi, membeli emas kini juga melibatkan aspek psikologis, terutama dalam fenomena panic buying yang sering muncul di masa krisis.
Melalui tulisan ini, mari kita telaah secara objektif dan terstruktur: masih relevankah emas sebagai safe haven?
Bagaimana perilaku panic buying memperkuat atau justru memperlemah posisi emas? Dan bagaimana sebaiknya investor bersikap di tengah realitas baru ini?
Secara tradisional, emas telah menjadi simbol stabilitas nilai. Karakteristik fisik emas – kelangkaan, ketahanan, dan penerimaan lintas budaya – menjadikannya aset ideal saat pasar keuangan terguncang.
Studi seminal oleh Baur dan McDermott (2010) menunjukkan bahwa emas berperan sebagai safe haven di berbagai negara, terutama saat pasar saham jatuh drastis.
Ketika ketidakpastian melanda, emas biasanya mengalami lonjakan permintaan, karena dinilai lebih aman dibanding aset berbasis mata uang atau instrumen keuangan lain.
Namun, memasuki era pasca-2020, beberapa dinamika baru mulai menggeser lanskap investasi.
Kenaikan pesat aset kripto, revolusi digitalisasi keuangan, dan perubahan perilaku investor muda menghadirkan tantangan terhadap supremasi emas.
Meski Bitcoin sempat dijuluki sebagai "emas digital", volatilitas ekstremnya memperlihatkan bahwa aset ini belum mampu menggantikan peran stabilitas yang diberikan emas dalam portofolio.