TERKAIT buruh sebagai kelompok yang paling rentan dan terbatas akses pada jaminan kesejahteraan yang memadai, penting kembali membicarakan cita-cita negara kesejahteraan (welfare state), sekalipun entah kapan terwujudnya.
Dan berbicara buruh bukan sekadar berbicara sekelompok pekerja pabrik yang punya jadwal pasti dan dan tempat bekerja tetap, tapi juga para pekerja informal yang bertahan untuk tetap makan dan memberi makan keluarganya tanpa kepastian.
Mereka yang menjadi tukang parkir, pemulung, ojek pangkalan, ojek online, buruh cuci, pedagang kaki lima, atau pekerja rumahan setiap hari mencari makan senemunya, apa adanya, dan sebisanya.
Mereka menopang hidup keluarganya dari kerja harian, yang kadang ada, kadang tidak. Saat mereka sakit, tidak ada yang menggaji. Saat mereka tua, tidak ada pensiun. Ketika mereka meninggal, keluarganya menanggung utang untuk biaya pemakaman.
Apakah para buruh informal membutuhkan simpati? Tampaknya bukan itu, yang mereka butuhkan adalah sistem. Mereka tidak minta dikasihani, tapi butuh diakui.
Baca juga: Menyambut Hari Buruh: Upah Murah, Pidato Mahal
Para buruh informal ingin sistem yang “fair”. Mereka tidak ingin jadi pengemis bantuan negara. Mereka tidak malas, makanya mau banting tulang mencari sesuap nasi dalam ketidakpastian.
Saya tidak punya data angka berapa jumlah atau persentase tenaga kerja informal di negeri ini, yang pasti jumlahnya lebih besar dibanding pekerja formal. Untuk hal demikian, kita perlu menyuarakan keprihatinan dan memikirkan tentang nasib mereka.
Mereka yang bekerja serabutan untuk mempertahankan makan diri dan keluargnya, bukan sekadar tidak punya jaminan kepastian pendapatan, tapi juga tidak ter-cover dalam perlindungan asuransi ketenagakerjaan.
Ketika mereka sakit dan tidak mampu berobat, mereka tidak pergi ke rumah sakit rujukan pemerintah, karena biaya administrasi ditambah rumitnya birokrasi.
Mereka datang ke masjid, gereja, vihara, atau yayasan sosial lokal. Berharap ada program infak, zakat, atau derma dadakan untuk sekadar membeli obat warungan.
Ketika anak-anak mereka tidak bisa membayar SPP, mereka mengandalkan gotong royong komunitas—dari ustaz, pendeta, ketua RT, atau tokoh lokal.
Bahkan dalam kematian pun, biaya penguburan mereka seringkali ditanggung oleh kas masjid atau kotak derma gereja.
Terkadang saya suka buruk sangka bahwa jangan-jangan kedekatan sejumlah orang yang berada dalam keterbatasan akses kesejahteraan ke tempat-tempat ibadah adalah karena jalan hidup, bukan karena keyakinan spiritual.
Saya perlu tobat tampaknya dari buruk sangka tersebut. Biarkan saja mereka dalam keadaan demikian.
Mereka jangan ditarik-tarik dulu untuk menjadi pengabdi yang murni (ikhlas) secara spiritual. Karena memang di sanalah letak pertolongan praktis yang tak disediakan sistem negara. Mau apa lagi dan itu sah-sah saja.