RILIS data perekonomian Indonesia untuk kuartal I 2025 menghadirkan angka pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 4,87 persen secara tahunan (yoy).
Sontak, narasi resmi yang mengemuka adalah optimisme dan klaim ketahanan atau resiliensi ekonomi nasional di tengah berbagai turbulensi global yang tak kunjung usai.
Angka ini, meski di bawah psikologis 5 persen, seolah menjadi penegas bahwa Indonesia masih mampu menavigasi badai ketidakpastian, didorong konsumsi domestik yang kokoh dan kinerja ekspor positif.
Namun, layaknya gunung es, angka tunggal PDB seringkali menyembunyikan kompleksitas lebih besar di bawah permukaan.
Mengupas lebih dalam, gambaran yang muncul tidaklah sesederhana klaim resiliensi semata. Pertumbuhan 4,87 persen yoy ini sejatinya menunjukkan perlambatan dibandingkan capaian triwulan IV 2024 (5,02 persen yoy) maupun triwulan I 2024 (5,11 persen yoy).
Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2025 Melambat, Imbas Efisiensi Anggaran?
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah kontraksi pertumbuhan sebesar 0,98 persen jika dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (q-to-q), yang bahkan lebih dalam dari kontraksi serupa pada periode yang sama tahun lalu (-0,83 persen q-to-q).
Data-data ini mengisyaratkan adanya pelemahan momentum dan memunculkan pertanyaan krusial: Seberapa kokoh sebenarnya fondasi ekonomi kita?
Apakah kita benar-benar resilien, atau hanya menikmati bantalan sementara dari pasar domestik yang besar sembari mengabaikan retakan-retakan struktural yang kian nyata?
Sekilas, pertumbuhan PDB 4,87 persen yoy mungkin terdengar lumayan. Namun, kualitas di balik angka tersebut patut dipertanyakan.
Konsumsi rumah tangga, sang motor utama, memang masih tumbuh 4,89 persen yoy, tapi lajunya melambat dari 4,98 persen yoy pada kuartal sebelumnya.
Perlambatan ini, meski tipis, senada dengan keluhan beberapa ekonom mengenai "daya beli yang lesu".
Di sisi lain, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi, yang menjadi kunci kapasitas produktif masa depan, anjlok pertumbuhannya menjadi hanya 2,12 persen yoy, terjun bebas dari 5,03 persen yoy pada triwulan IV 2024.
Ini adalah sinyal merah yang tak bisa diabaikan, mengindikasikan keengganan atau ketidakmampuan sektor swasta untuk berekspansi di tengah ketidakpastian.
Kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38 persen yoy memang sebagian dapat dijelaskan oleh normalisasi belanja pasca-Pemilu.
Namun, beberapa analisis juga menyoroti adanya "efisiensi belanja pemerintah besar-besaran" yang justru dapat menekan kepercayaan konsumen dan aktivitas ekonomi.