KELAPA sejatinya merupakan komoditas tradisional dan unggulan Nusantara. Namun, kondisi agribisnis kelapa kini sangat memerlukan perhatian khusus.
Luas perkebunan kelapa terus stagnan sekitar 3,3 juta hektare, dengan total produksi di angka 2,7 juta ton (BPS, 2019–2021).
Di saat produksi tertekan, harga kelapa bulat pada beberapa bulan terakhir, justru melonjak tajam.
Di Riau, sentra produsen kelapa terbesar di Indonesia, harga kelapa butir naik dari Rp 2.900/kg menjadi Rp 8.000/kg dalam kurun 2024–2025.
Sayangnya, lonjakan harga ini meskipun membuat petani kelapa tersenyum, tapi belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan mereka.
Menyelisik lebih dalam, harga di daerah pemasaran, pada tingkat konsumen lebih tinggi lagi, yakni Rp 13.769 hingga Rp 21.000 per kilogram (di Jakarta per April 2025).
Kondisi ini mengindikasikan adanya margin distribusi yang sangat besar, dan menandakan rantai pasok kelapa masih bermasalah serta tidak efisien.
Ketimpangan ini tidak menguntungkan bagi ekosistem industri secara keseluruhan. Pelaku usaha khususnya pedagang di hilir dapat menikmati margin berlebih di saat terjadinya sortasi pasokan dalam negeri.
Baca juga: Dari Kebun ke Pasar Dunia: Kelapa Indonesia di Tengah Gelombang Harga
Kondisi tersebut tentu menyulitkan agenda hilirisasi industri kelapa, yang seharusnya mampu mendongkrak nilai tambah, multiplier efek bagi perekonomian daerah dan meningkatkan daya saing komoditas ini di pasar global.
Tata niaga kelapa Indonesia memang masih amat rumit, di mana kebijakan belum sepenuhnya berpihak pada integrasi rantai nilai. Petani kelapa terjebak pada margin perdagangan yang timpang, dan rantai pasok belum optimal.
Kedepan dibutuhkan solusi menyeluruh, di mana reformasi regulasi hingga penguatan kelembagaan perlu dijalankan. Kebijakan yang berpihak pada petani akan meratakan manfaat ekonomi bagi hulu dan hilir.
Dengan sinergi pemerintah, pelaku usaha, dan petani, dan ditopang program hilirisasi yang nyata, maka industrialisasi kelapa dapat dibangkitkan kembali.
Hanya dengan demikian, potensi besar kelapa Indonesia dapat diwujudkan untuk kesejahteraan petani kelapa dan menjadikan kelapa sejajar dengan sawit sebagai komoditas unggulan nasional.
Sejumlah regulasi yang tidak sinergis menjadi biang keruwetan tata niaga kelapa. Kebijakan pajak dan ekspor yang timpang mendorong para petani lebih senang menjual buahnya mentah ke pasar ekspor ketimbang ke industri dalam negeri.
Selama ini, pembeli bahan baku industri kelapa (kopra, VCO, dsb.) dikenai PPN 10 persen, meskipun, sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 64/PMK.03/2022, tarif PPN atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu, termasuk kelapa, ditetapkan sebesar 1,1 persen dari harga jual.