SEPANJANG 2024 hingga awal 2025, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui perekonomian Indonesia.
Sejumlah perusahaan di sektor teknologi, manufaktur, dan tekstil telah melakukan pemangkasan besar-besaran akibat tekanan ekonomi global, pelemahan permintaan, serta disrupsi digital yang belum diantisipasi secara matang.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran serius, tidak hanya bagi para pekerja yang terancam kehilangan mata pencaharian, tetapi juga bagi stabilitas sosial ekonomi nasional.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2024, lebih dari 150.000 pekerja terkena PHK. Sedangkan sejak awal tahun hingga Maret 2025, sudah terdapat 73.000 pekerja yang terkena PHK.
Angka tersebut diprediksi meningkat jika tidak ada intervensi kebijakan yang tepat.
Dalam situasi ini, pemerintah dan sektor swasta dituntut tidak hanya bersikap reaktif, tetapi juga mengembangkan strategi preventif untuk menjaga keberlangsungan pekerjaan dan produktivitas nasional.
Baca juga: Danantara Sebaiknya Tak Berinvestasi Bitcoin
PHK massal bukan peristiwa tunggal yang muncul begitu saja, melainkan hasil dari kombinasi berbagai faktor struktural, konjungtural, dan teknologi. Ada sejumlah penyebab utama, antara lain:
Pertama, kondisi ekonomi global yang tidak stabil. Ketegangan geopolitik, krisis energi, hingga dampak lanjutan pandemi COVID-19 menyebabkan pelemahan daya beli global.
Kedua, disrupsi digital dan otomatisasi. Banyak perusahaan beralih ke teknologi untuk efisiensi, yang mengakibatkan pengurangan tenaga kerja manual.
Ketiga, ketergantungan pada industri padat karya. Sektor seperti tekstil dan sepatu, yang sangat tergantung pada pasar ekspor dan biaya tenaga kerja murah, sangat rentan terhadap fluktuasi ekonomi.
Keempat, kurangnya reskilling dan upskilling. Tenaga kerja yang tidak dibekali keterampilan baru menjadi kelompok paling rentan terhadap PHK.
Kelima, iklim investasi Indonesia yang masih belum mendukung. Beberapa kasus seperti birokrasi berbelit dan gangguan ormas menyebabkan banyaknya investor yang memindahkan basis produksinya ke negara tetangga.
Pemerintah Indonesia telah menyadari bahwa solusi jangka pendek seperti bansos atau jaring pengaman sosial tidak cukup untuk mengatasi krisis PHK. Oleh karena itu, pemerintah perlu melaksanakan berbagai strategi untuk mengatasinya.
Pertama, program reskilling dan upskilling nasional. Melalui Kartu Prakerja dan program pelatihan vokasi, pemerintah berupaya membekali tenaga kerja dengan keterampilan baru yang relevan dengan kebutuhan industri digital dan hijau.
Tantangannya adalah menjamin kualitas pelatihan dan keterhubungannya dengan pasar kerja riil.
Baca juga: Antara Mak Siti Pencuri Bawang dan Koruptor