DI TENGAH deru kota dan hiruk-pikuk jalanan, ribuan pengemudi ojek online (ojol) dari berbagai daerah menggelar aksi demonstrasi nasional pada 20 Mei 2025.
Mereka tidak sekadar turun ke jalan karena tarif yang tak manusiawi atau potongan aplikasi yang mencekik, tetapi karena sistem ekonomi digital hari ini telah gagal memberi keadilan paling dasar bagi pekerja: hak atas penghidupan yang layak dan bermartabat.
Sampai hari ini, status pengemudi ojol masih disebut sebagai mitra oleh perusahaan aplikasi. Namun, sebutan ini adalah kamuflase korporasi untuk menghindari kewajiban dasar atas perlindungan tenaga kerja: jaminan sosial, standar upah minimum, jam kerja manusiawi, dan keselamatan kerja.
Padahal, para ojol ini bekerja di bawah kontrol platform yang ketat—dari sistem algoritma, skema insentif, hingga penalti akun. Mereka bukan “mitra setara”; mereka adalah buruh dalam sistem digital yang diotomatisasi.
Baca juga: Menelaah Status Pengemudi Ojek Online Jadi Pekerja
Laporan ILO (2021) tentang “The Role of Digital Labour Platforms in Transforming the World of Work” secara tegas menyatakan bahwa pekerja platform digital berada dalam posisi paling rentan karena: Tidak memiliki jaminan sosial, tidak diakui sebagai pekerja formal dan tidak memiliki ruang negosiasi kolektif terhadap perusahaan platform.
Lebih ironis lagi, rata-rata penghasilan bersih pengemudi ojol di Indonesia hanya sekitar Rp 2 juta-Rp 2,5 juta per bulan, jauh di bawah UMP Jakarta (Rp 5.067.381) dan tidak mencukupi standar kebutuhan hidup layak, apalagi untuk menanggung biaya operasional kendaraan dan risiko kecelakaan kerja.
Demonstrasi nasional ini seharusnya menjadi alarm serius bagi negara. Ketika buruh digital harus turun ke jalan, itu berarti kanal-kanal dialog formal telah tersumbat atau diabaikan.
Negara, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, seharusnya tidak lagi berpangku tangan dan membiarkan pengemudi ojol menjadi korban eksploitasi sistematis dari perusahaan teknologi yang hanya mementingkan pertumbuhan valuasi.
Seperti yang disampaikan Martin Luther King Jr., “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.”
Ketidakadilan terhadap para pengemudi ojol bukanlah kasus tersendiri—ia mencerminkan arah bangsa ini dalam memilih siapa yang ingin dilindungi: manusia atau mesin? Rakyat atau pemodal?
Baca juga: Hari Buruh 2025: Agenda Melawan Eksploitasi Ojek Online
Tulisan Tokoh dan Pemikir Buruh Rekson Silaban yang baru-baru ini terbit di berbagai media nasional, menyampaikan satu pesan fundamental: "Tanpa kekuatan kelembagaan yang berpihak dan perlindungan kerja yang inklusif, globalisasi hanya akan menguntungkan pemodal dan memperlemah posisi buruh."
Silaban secara tajam menyoroti bahwa pekerja ojol adalah simbol dari kerja tidak layak yang dinormalisasi. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial, jam kerja panjang, tanpa akses perlindungan hukum, dan tetap diselimuti narasi kemitraan yang semu.
Bahkan, ia menyebut bahwa pekerjaan paling kotor dan paling berbahaya justru sering disajikan sebagai “pekerjaan transisi yang adil”—padahal itu adalah legitimasi eksploitatif dari sistem digitalisasi tenaga kerja.
Sebagai analis kebijakan publik yang mencermati dinamika buruh di era digital, saya melihat bahwa perjuangan para pengemudi ojek online hari ini tidak sekadar tentang tarif atau insentif.
Ini adalah perjuangan untuk pengakuan, perlindungan, dan keadilan dalam lanskap ekonomi yang semakin dikendalikan oleh algoritma dan kepentingan korporasi.