HARI Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei, bukan sekadar seremoni atau napak tilas sejarah.
Ia adalah momen refleksi kolektif bangsa Indonesia atas perjuangan panjang menuju kemerdekaan, serta panggilan untuk membangkitkan kembali semangat nasionalisme, kemandirian, dan keberdayaan dalam menjawab tantangan zaman.
Di tengah ancaman krisis pangan global, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi dunia, semangat kebangkitan hari ini perlu diarahkan pada upaya strategis, yaitu mewujudkan kedaulatan pangan sebagai fondasi kebangkitan ekonomi Indonesia.
Kedaulatan pangan bukan sekadar soal swasembada beras atau stok gudang logistik. Ia mencakup hak negara dan rakyat untuk menentukan kebijakan pangan secara mandiri, berpihak pada petani, nelayan, dan pelaku usaha tani lokal, serta memastikan akses pangan bergizi bagi seluruh warga negara.
Mengapa kedaulatan pangan ini penting? Karena bangsa yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri akan terus bergantung pada negara lain. Pada akhirnya, rentan terhadap krisis, manipulasi harga global, dan fluktuasi geopolitik.
Sebaliknya, kedaulatan pangan adalah pilar utama bagi kemandirian ekonomi nasional.
Baca juga: Reformasi dan Repot Nasi
Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang subur dan kaya hasil bumi. Namun ironinya, sebagian besar kebutuhan pangan pokok masih mengandalkan impor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, Indonesia masih mengimpor lebih dari 4,52 juta ton beras, 11,46 juta ton gandum, serta komoditas strategis lain seperti kedelai, gula, dan jagung.
Ketergantungan ini menunjukkan lemahnya sistem produksi dalam negeri, mulai dari terbatasnya lahan pertanian produktif, ketidakstabilan harga pupuk dan benih, hingga rendahnya regenerasi petani.
Meskipun pada periode Januari – Juni 2025, diperkirakan Indonesia akan mengalami surplus beras sebanyak 3,33 juta ton.
Petani dan nelayan, yang seharusnya menjadi pahlawan pangan, justru berada pada posisi paling rentan. Upah yang tidak sebanding, akses pembiayaan yang sulit, serta tekanan perubahan iklim semakin memperparah situasi mereka.
Padahal, jika diberdayakan secara maksimal, sektor pertanian dan kelautan dapat menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang kokoh.
Pandemi COVID-19, perang Rusia-Ukraina, dan konflik geopolitik lainnya telah mengganggu rantai pasok global, termasuk pangan. Harga gandum, beras, minyak goreng, dan komoditas strategis lain melonjak drastis.
Kondisi ini menjadi pengingat pahit bahwa ketergantungan pada impor adalah risiko nyata. Namun, sekaligus menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk membangun ketahanan dan kedaulatan pangan secara serius.
Krisis global adalah momentum untuk reorientasi kebijakan—dari konsumsi ke produksi, dari impor ke penguatan lokal, dari ekonomi ekstraktif ke ekonomi agraris berkelanjutan.