JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Amerika Serikat kembali mempertegas arah kebijakan proteksionisnya di sektor baja.
Dalam lanjutan kebijakan tarif impor era Presiden Donald Trump, AS resmi memperluas cakupan pembatasan impor baja lewat “Tarif Trump Jilid Kedua” yang diumumkan pada 2 April 2025.
Hampir seluruh produk baja impor kini dikenakan tarif sebesar 25 persen, tanpa kecuali. Kebijakan ini diberlakukan dalam bingkai Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962, dengan alasan perlindungan terhadap keamanan nasional.
Baca juga: Perkuat Industri Baja, Krakatau Steel Didorong Kerja Sama Regional
Meski terlihat keras, AS tetap membuka ruang seleksi melalui Product Exclusion Process mekanisme administratif yang memungkinkan tarif dikecualikan bila produk baja tertentu tidak tersedia dari produsen lokal. Dengan demikian, tarif dijadikan alat seleksi, bukan sekadar penghalang impor.
“Pada intinya, ini mirip dengan skema Persetujuan Teknis (Pertek) di Indonesia, Pertek itu ibarat Pertek rasa Indonesia, sedangkan Product Exclusion itu Pertek rasa USA ” ujar Widodo Setiadharmaji, Tenaga Ahli Industri sekaligus pengamat industri baja dan pertambangan dalam keterangannya, Sabtu (26/5).
Indonesia selama ini mengendalikan impor baja melalui Pertek yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Berbeda dengan pendekatan fiskal AS, Pertek bersifat administratif. Setiap importir wajib mengajukan permohonan lengkap terkait spesifikasi barang, justifikasi kebutuhan, serta peruntukannya.
“Kalau AS pakai pendekatan ‘kena tarif dulu, kecuali nanti’, Indonesia justru ‘minta izin dulu, baru boleh impor’,” ujar Widodo.
Baca juga: Produk Sampingan Pembuatan Baja Dimanfaatkan untuk Pupuk Pertanian
Meski sistem dan instrumennya berbeda, kedua negara mengacu pada prinsip yang sama: melindungi industri dalam negeri dari tekanan impor yang tidak perlu, dengan tetap memberi ruang bila kebutuhan pasar tidak bisa dipenuhi lokal.