AWALNYA saya hanya ingin menonton video singkat untuk menemani sore. Namun, satu tayangan di kanal YouTube Prof. Rhenald Kasali mengubah arah pikiran saya.
Judulnya: “Babak Baru Sritex: Cawe-cawe Pejabat & Trah Solo, Buntut Skandal Korupsi Bos Sritex”.
Dalam tayangan itu, Prof. Rhenald membahas kejatuhan bisnis tekstil raksasa Indonesia, Sritex, yang mulai terguncang sejak 2021—tahun ketika perusahaan mencatat kerugian keuangan masif dan mulai aktif mengajukan pinjaman ke puluhan bank.
Beliau menyebut dokumenter Netflix "Bad Boy Billionaires: India" sebagai kunci pembanding pola skandal bisnis serupa di negara lain. Saya langsung mencarinya.
Dari semua tokoh dalam dokumenter itu, Vijay Mallya adalah yang paling mencolok. Dikenal sebagai King of Good Times, Mallya adalah pewaris grup United Breweries (UB Group), pemilik Kingfisher Airlines, sponsor Formula One, penyelenggara pesta mewah, dan simbol “India Baru” yang global dan flamboyan.
Namun, semua gemerlap itu ternyata disokong oleh utang dari lebih dari 17 bank, total sekitar Rp 18 triliun.
Baca juga: Negeri yang Menolak Pensiun
Mallya menggunakan pinjaman untuk menopang bisnis maskapainya yang terus merugi, membayar bunga pinjaman lain, membeli aset pribadi, dan menjaga gaya hidup elit.
Ketika Kingfisher kolaps pada 2012, ia menyisakan ribuan karyawan tak digaji dan lubang besar di sistem keuangan India.
Dan saat kreditor menuntut pertanggungjawaban, Mallya memilih melarikan diri ke Inggris. Sejak 2016, pemerintah India masih berupaya mengekstradisinya.
Sebab pola ini, kemewahan, ekspansi, utang, kolaps, dan pelarian tanggung jawab, bukan hanya terjadi di India. Kita punya versinya sendiri. Namanya: Sritex.
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) adalah legenda industri tekstil Indonesia. Namun pada 2021, perusahaan ini mencatat kerugian bersih Rp 15,66 triliun. Lonjakan dari laba tahun sebelumnya yang mencapai 85 juta dollar AS.
Di tengah arus rugi tersebut, Sritex justru semakin agresif mencari pendanaan: lebih dari 20 bank, utang yang dihimpun mencapai Rp 3,5 triliun.
Dari angka tersebut, Bank BJB memberikan Rp 543,98 miliar dan Bank DKI mengucurkan Rp 149 miliar—dua bank milik pemerintah daerah. Totalnya hampir Rp 693 miliar.
Kredit tersebut kini menjadi objek perkara korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Agung menetapkan tersangka Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto (ISL) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit. Pada periode tahun 2005-2022, Iwan diketahui menjabat sebagai Direktur Utama Sritex.